Senin, 18 Februari 2013

Bersikap Bijak Terhadap Kebutuhan


            Sebuah pemandangan yang penuh sesak di sebuah pusat perbelanjaan ketika akhir pekan menjadi suatu hal yang biasa kita lihat. Akhir pekan memang sebuah hari yang menyenangkan untuk dinikmati bersama keluarga sebagai penyegaran setelah beberapa hari selalu berkutat dengan pekerjaan. Hanya sekedar jalan-jalan atau membeli beberapa barang yang dibutuhkan.
            Manusia hidup tidak lepas dari berbagai kebutuhan. Hingga pada pelajaran IPS ekonomi kita mengingat sebuah materi pelajaran tentang kebutuhan manusia. Kebutuhan yang secara tingkat kepentingannya sering kita sebut dengan kebutuhan primer, sekunder dan tersier. Melalui penggolongan tersebut sangat jelas terlihat urutan mana yang harus diprioritaskan dan mana yang dapat ditunda.
            Namun sayangnya dengan pola kehidupan sekarang ini yang menuntut orang untuk dinamis justru membuat seseorang menjadi pribadi yang konsumtif. Terkadang hal tersebut menjadikan kita lupa mana yang menjadi kebutuhan pokok dan mana yang merupakan kebutuhan tersier. Kebutuhan akan terus berkembang seiring dengan perkembangan kemapanan seseorang. Tentunya hal itu tidak perlu dirisaukan jika memang orang telah mencapai kemapanan tersebut, namun bagaimana jika pandangan hidup yang dinamis ini menjadikan seseorang yang belum waktunya untuk memiliki semua itu untuk memaksakan diri.
            Melalui tingginya tingkat konsumsi masyarakat kita inilah yang kemudian menjadikan para investor merasa yakin untuk menjadikan Indonesia sebagai bidikan target pemasaran produk mereka. Banyak mall, mini market serta outlet-outlet dari berbagai macam produk tersebar dan terus berkembang. Serta pada perkembangan selanjutnya muncul berbagai fasilitas pembiayaan seperti kartu kredit, cicilan serta diskon yang mampu menghadirkan kemudahan dalam proses kepemilikan barang. Berbagai kemudahan tersebut menjadikan beberapa dari masyarakat kita seakan membudayakan sikap konsumtif.
            Ironisnya lagi yaitu jika kita bandingkan jumlah barang yang kita konsumsi selama ini kebanyakan masih merupakan barang import. Terlepas dari masih rendahnya kesadaran masyarakat kita untuk lebih menghargai barang lokal, namun juga dari segi kualitas kita masih belum dapat menyediakan barang yang sepadan dengan kualitas barang import sehingga masyarakat kita lebih memilih untuk menetapkan pilihan mereka kepada barang import. Bagaimanapun itu kualitasnya, saya rasa sudah saatnya kita mempercayai produk bangsa kita sendiri. Jangan sampai industri kreatif anak negeri justru hidup segan mati tak mau, di negerinya sendiri.
Skala prioritas
            Saya rasa dalam menentukan berbagai macam kebutuhan hidup kita harus bersikap tegas. Kita harus memahami secara cermat mana kebutuhan yang memang benar-benar kita butuhkan dan mana kebutuhan yang hanya bersifat hiburan saja. Melalui skala prioritas inilah kita mampu menilai bahwa kita dapat memiliki barang tersebut sebagai kebutuhan pelengkap saat seluruh kebutuhan pokok kita untuk menunjang kehidupan telah mampu kita penuhi semua. Apalah artinya jika kebutuhan yang memang benar-benar pokok untuk kita justru tidak terpenuhi dan kebutuhan yang bersifat pelengkap malah kita penuhi.
            Mengikuti perkembangan zaman bukan berarti menjadikan kita harus memiliki apa yang sedang menjadi trend saat ini. Ikutilah perkembangan dengan bijak, artinya kita tahu kemampuan diri kita seberapa. Bukan berarti kita menolak perkembangan, namun setidaknya kita mampu mengikuti berbagai trend tersebut tanpa mengesampingkan kebutuhan pokok. Di satu sisi kita menemukan orang yang bersusah-payah dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari, namun di sisi lain kita juga menemukan seseorang yang mempunyai uang yang cukup dengan mudah membeli barang yang diingingkan. Inilah realita yang terjadi saat ini. Sebuah pemandangan yang mencerminkan bagaimana perkembangan zaman dapat mempengaruhi pola kehidupan masyarakat.
            Sejatinya usaha yang dilakukan untuk menuju ketercapaian suatu kebutuhan adalah kerja keras. Kita tidak akan mampu mewujudkan cita-cita untuk mencukupi kebutuhan tanpa adanya usaha dan kerja keras, namun itu bukan berarti jika kita telah mampu mencukupi segalanya maka kita berhak menikmatinya dengan sesuka hati. Pengendalian diri dan bersahaja kemudian kembali lagi kepada diri kita sendiri yang menentukan.

Rabu, 06 Februari 2013

Termotivasi dari Label RSBI


            Putusan MK yang menetapkan RSBI sebagai bentuk liberalisasi pendidikan merupakan sebuah kabar yang menghentak bagi Kemendikbud. Bagaimana tidak, program yang dirintis sejak 2006 dan telah menghasilkan sebanyak 1.397 sekolah diseluruh Indonesia kini harus dihentikan.
            RSBI sejatinya dibentuk untuk meningkatkan kualitas pendidikan negara Indonesia. Saya yakin kita semua sependapat bahwa saat ini sistem pendidikan Indonesia harus dirubah untuk dapat membentuk pribadi Indonesia yang tangguh. Dari titik inilah kemudian lahir Namun pada perjalanannya, ternyata program RSBI justru dinilai menciptakan sekat pemisah antara program reguler dan RSBI.
            Program RSBI selanjutnya dikawal dengan berbagai peraturan yang ketat. Melalui berbagai peraturan tersebut diharapkan dapat membentengi pelaksanaan RSBI dari segala macam bentuk liberalisasi yang mungkin dapat terjadi. Peraturan tersebut antara lain menyebutkan minimal 20% tiap kelas program RSBI merupakan siswa dari kalangan menengah ke bawah, dalam segi pembiayaan pemerintah juga masih menyediakan anggaran untuk biaya operasional sekolah.
            Pihak sekolah tidak dapat serta merta disalahkan, karena sekolah adalah pelaksana dan merupakan kewajiban sekolah untuk mensukseskan setiap program yang digagas pemerintah. Pesona program RSBI menarik minat yang sangat tinggi bagi orang tua untuk mendaftarkan anak ke sekolah RSBI. Hal ini wajar karena setiap orang tua menginginkan anaknya mendapatkan pendidikan terbaik. Tentunya menjadi kewajiban sekolah untuk mewadahi keinginan tersebut.
             Program RSBI sebenarnya tidak luput dari evaluasi pemerintah. Berbagai kekurangan masih banyak ditemukan selama program berjalan. Perbaikan, penyempurnaan serta teguran kepada sekolah yang mempunyai catatan buruk juga sering mewarnai hasil evaluasi. Namun siapa sangka bahwa penyempurnaan tersebut tidak dapat dilaksanakan terus menerus karena pada tahun ajaran mendatang program RSBI dinyatakan ditutup.
Hak yang Sama
            Pendidikan mempunyai posisi yang penting dalam membangun sebuah bangsa. Pemerintah telah menjamin bahwa setiap warga negara Indonesia berhak mendapatkan pendidikan yang bermutu. Berbicara mengenai pendidikan, maka tidak terdapat hal khusus atau istimewa yang membedakan siswa satu dengan yang lainnya. Pendidikan tidak mengenal kasta, dimana terdapat kelas berfasilitas khusus dan berfasilitas biasa. Kualitas pendidikan bukanlah sesuatu layaknya kegiatan jual-beli yang diperoleh sesuai dengan seberapa besar modal yang kita miliki.
            Apabila pemerintah ingin melaksanakan program sekolah bertaraf internasional, saya rasa program tersebut hendaknya diterapkan untuk semua sekolah di Indonesia. Tidak hanya sekedar beberapa sekolah saja seperti sekarang. Sebenarnya itulah yang ingin dicapai oleh pemerintah, namun karena dirasa pemerintah belum mampu untuk mewujudkan seluruh sekolah di Indonesia sebagai sekolah bertaraf internasional maka cita-cita tersebut dilaksanakan secara bertahap melalui program RSBI.
            Pemerintah harus mendorong dan membina seluruh sekolah agar mampu melaksanakan program tersebut. Melalui cara ini maka tidak akan timbul sekat pemisah antara sekolah reguler dan sekolah khusus. Selain itu nantinya seluruh sekolah di Indonesia akan berkembang menjadi sekolah yang baik dan tentunya tidak akan ada perbedaan perlakuan yang diberikan kepada masing-masing siswa, karena semua siswa berhak untuk mendapatkan pembelajaran yang sama. Untuk menuju kearah sekolah yang berkualitas, hal utama yang perlu dipersiapkan adalah sumber daya manusianya. Saat ini pelatihan dan pembinaan kepada para guru memang telah dilakukan, namun pelaksanaan pelatihan dan pembinaan ini masih jauh dari cukup. Pelatihan yang diberikan seharusnya dilakukan secara berkesinambungan. Dengan pelatihan yang dilakukan terus menerus dan terdapat target yang ingin dicapai saya yakin akan menghasilkan peningkatan mutu pendidik. Ketika para pendidik telah mempunyai mutu yang tinggi, selanjutnya merupakan hal yang mudah untuk menciptakan pembelajaran yang berkualitas dari pendidik yang berkualitas.
             Dari berbagai kekurangan dalam pelaksanaan program RSBI, terdapat sisi positif yang dapat kita amati. Pihak sekolah berlomba untuk meningkatkan mutu sekolah mulai dari tenaga pendidik hingga kelengkapan sarana dan prasarana untuk memperoleh label RSBI. Inilah yang harus kita apresiasi. Sekolah telah berusaha keras untuk mewujudkan perbaikan yang sempurna. Hal ini membuktikan keseriusan sekolah untuk memperbaiki diri. Namun selanjutnya harapan kita walaupun tanpa label RSBI, hal seperti ini selalu dilakukan sekolah untuk menciptakan pendidikan yang berkualitas bagi seluruh siswa.