Rabu, 07 Agustus 2013

Pintar Dunia dan Akhirat


       “Carilah ilmu walau sampai ke negeri Cina, karena sesungguhnya menuntut ilmu itu wajib bagi setiap muslim.” Penggalan hadist riwayat Ibnu Abdil Bar tersebut sangat jelas menunjukkan bahwa kewajiban setiap muslim adalah menuntut ilmu. Ilmu adalah gerbang utama dalam memerangi kebodohan. Berbekal ilmu pengetahuan, umat manusia dapat membangun peradaban yang sunguh sangat luar biasa. Namun dengan ilmu pula manusia dapat menghancurkan sebuah peradaban.
       Kewajiban dalam menuntut ilmu tersebut oleh pemerintah diejawantahkan melalui program wajib belajar (wajar) 9 tahun. Terbukti bahwa perkembangan pada tiap tahun dan tiap periodenya, kesadaran masyarakat Indonesia untuk menyekolahkan putra-putrinya semakin meningkat. Beberapa keluarga yang kurang mampu juga mendapatkan perhatian dari pemerintah berupa sekolah gratis melalui program bantuan operasional sekolah (BOS) dan beasiswa. Dirasa program wajar 9 tahun masih kurang, maka beberapa kepala daerah yang daerahnya dinilai mampu mulai menjalankan program wajar 12 tahun.
       Tidak berhenti di situ saja, saat ini pemerintah juga membidik agar angka masyarakat yang menyandang gelar sarjana jumlahnya semakin meningkat. Berbagai program mulai dirancang dari program biaya operasional perguruan tinggi negeri (BOPTN), beasiswa bidikmisi, hingga uang kuliah tunggal (UKT). Semua usaha tersebut tidak lain dan tidak bukan bertujuan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM) Indonesia melalui pendidikan.
       Dengan pendidikan yang baik dan dapat diakses oleh seluruh masyarakat Indonesia, maka akan menjadikan kualitas manusia yang unggul sehingga masyarakat dapat meningkat dari segi perekonomian serta kita tidak dipandang sebelah mata oleh negara lain. Berdiri di atas kaki sendiri (berdikari) itulah harapan para pendiri bangsa ini kepada para generasi penerusnya. Jika kita tinjau dari sisi Al-qur’anul karim, kita akan menemukan pada surat Al-mujadalah ayat 11 bahwa Allah akan meninggikan beberapa derajat (tingkatan) orang-orang yang beriman diantara kamu dan orang-orang yang berilmu (diberi ilmu pengetahuan).
       Dari ayat tersebut jelas bahwa orang yang berilmu (orang yang bersedia untuk menuntut ilmu) akan jauh jika dibandingkan dengan orang yang bermalas-malasan tidak mau untuk mempelajari ilmu pengetahuan. Peningkatan derajat tersebut dalam kehidupan dunia misalnya dalam hal rizqi yang diterimanya dan pekerjaan yang ia kerjakan untuk mencukupi kehidupan sehari-hari.
       Akan tetapi saya menilai bahwa oleh sebagian masyarakat terkait kewajiban dalam menuntut ilmu ini masih terdapat hal yang mengganjal: pertama, kata “ilmu” masih diartikan sebatas ilmu pengetahuan duniawi atau yang dipelajari di sekolah umum saja. Kedua, seiring dengan pengartian ilmu pada poin pertama maka seseorang biasanya akan berhenti menuntut ilmu saat ia sudah tidak lagi berada di bangku sekolah. Ketiga, semangat dalam menuntut ilmu yang terkadang hingga “setinggi langit” bukan didasari pada niatan beribadah atau hanya sekedar mengejar ketenaran dunia atau gelar belaka. Semua hal tersebut merupakan refleksi dari peristiwa di sekitar kita yang terkadang kita menjumpai seseorang yang bergelar tetapi perilakunya tidak sesuai dengan gelar yang telah dicapainya, atau seseorang yang bergelar tetapi dengan segala kepandaiannya ia justru merendahkan orang lain yang dianggapnya bodoh.
       Hakikat dari ilmu adalah segala sesuatu yang mampu memberikan nilai  tambah dalam kehidupan kita. Nilai inilah yang akan membedakan kita dengan manusia yang lainnya. Ilmu merupakan sebuah pasangan dari pemanfaatan karunia Allah SWT terhadap manusia yaitu otak. Seseorang yang menyadari bahwa otak fungsinya adalah untuk berpikir, maka ia akan selalu berhati-hati dalam setiap langkahnya di dunia. Dari pendeskripsian hakikat ilmu tersebut, jelas bahwa ilmu itu berada dekat di kehidupan manusia dan sangat erat dengan aktivitas manusia. Tanpa kita sadari, ilmu pengetahuan akan hadir dengan sendirinya saat kita melakukan perenungan terhadap diri kita. Maka segala pemikiran yang dilakukan manusia akan berujung pada Allah Yang Maha Kuasa. Dia-lah yang menciptakan kita dan Dia-lah yang mempunyai hak atas kita.
       Beberapa orang yang masih menilai bahwa ilmu adalah apa yang dipelajari di sekolah, sesungguhnya mereka itu adalah orang-orang yang belum menggunakan kemampuan otaknya secara maksimal. Segala hal di luar pengajaran sekolah, bagi mereka bukanlah sebuah ilmu. Ilmu bagi mereka adalah sarana untuk menggenggam kesuksesan masa depan. Maka tidak heran jika mereka sudah tidak lagi bersekolah, mereka tidak lagi mempelajari ilmu pengetahuan. Sesungguhnya ilmu itu tidak hanya sebatas pengetahuan matematis, biologis, alam dan sebagainya. Selain ilmu-ilmu tersebut juga terdapat ilmu agama. Ilmu yang mengajari manusia untuk mengenal siapa Tuhannya. Ilmu yang menjadikan manusia tidak sesumbar dengan apa yang dimilikinya, karena ia sadar sepenuhnya bahwa hidupnya adalah atas izin dan kehendak Allah.
       Ilmu inilah yang terkadang bagi beberapa masyarakat kita sering dinomor duakan. Padahal untuk mempelajari ilmu agama ini tidak harus bersusah payah mengikuti jenjang-jenjang pendidikan seperti di sekolah konvensional. Datang pada sebuah pengajian atau majlis ta’lim, mengaji dengan guru ngaji, mempelajari sifat-sifat dan asma-asma Allah. Semua itu termasuk dalam upaya kita untuk mempelajari ilmu akhirat.
       Disadari atau tidak, dalam hati manusia yang paling dalam terdapat sebuah ruang kosong yang tidak mampu diisi oleh segala macam ilmu pengetahuan. Ruang tersebut hanya mampu diisi oleh ilmu agama yang mampu melengkapi hati kita menjadi hati manusia yang seutuhnya.
       Salah seorang guru mengaji saya pernah mengatakan bahwa, manusia hidup di dunia ini jika hanya mempelajari ilmu dunia tanpa diimbangi dengan ilmu akhirat (agama) bagaikan kaki kiri yang melangkah tetapi tidak diikuti oleh kaki kanan. Ilmu agama ini pasti akan berguna bagi diri kita sendiri dan nantinya akan berguna bagi keluarga kita. Terutama bagi anak-anak kita yang akan menanyakan segala macam pengetahuan agama kepada kita orang tuanya. Lalu bagaimana jika anak-anak kita bertanya tentang ilmu agama dan kita sebagai orang tua tidak mampu menjawabnya? Akankah kita hanya pandai berkata saja, tanpa memberikan panduan yang nyata? Berwudlu, shalat, membaca Al-qur’an dengan ilmu tajwid merupakan hal yang tidak mungkin tidak kita ajarkan kepada anak-anak kita. Mari lengkapi langkah kita dengan ilmu dunia serta ilmu akhirat.