Senin, 29 September 2014

Sampah Dunia Nyata dan Sampah Dunia Maya



            Sampai saat ini saya masih sering melihat seseorang dengan mudahnya membuang sampah sembarangan. Entah itu dibuang di sungai atau dibuang dengan begitu saja ditempat itu juga tepat ketika mereka selesai menghabiskan cemilan. Misalnya nih ya, sering saya lihat orang-orang berkendara dengan menggunakan mobil dengan seenak perutnya membuang bungkus makanan dari dalam mobil yang melaju. Tinggal buka kaca jendela dan weeerrrr plastik makanan terbang ketengah jalan. Atau satu lagi, mereka yang sedang menikmati makanan ringan sambil ngobrol dengan temannya, juga dengan seenak udelnya sendiri membuang bungkusnya dibawah tempat obrolan mereka.
            Apa sebenarnya yang sedang dihadapi masyarakat kita saat ini? Sampai-sampai kepedulian terhadap sesama dan lingkungan juga terabaikan. Kepedulian terhadap sesama? Yap, lihat saja itu mereka selalu sibuk dengan gadget yang mereka genggam. Beberapa menit sekali pasti mereka akan mengecek sosmed yang mereka miliki. Gak tau deh seberapa penting sosmed buat mereka. Gak tau juga apa isi sosmed mereka. Kalau isinya Cuma sekedar pertemanan biasa, rasanya kok terlalu berlebihan jika kita harus memantau perkembangan status dari teman-teman sampai disetiap menitnya. Kecuali kita melalui sosmed mengikuti hal-hal yang penting seperti akun siaran berita, surat kabar atau akun-akun pengetahuan mungkin akan mendatangkan manfaat. Coba kalau kita berani jujur berapa prosentase waktu yang kita gunakan dalam sehari untuk keperluan sosial media?
            Dua hal ini yang saat ini memenuhi ruang pikiran saya. Satu sisi lingkungan yang semakin menurun kualitasnya karena ulah manusia, sisi lain kualitas komunikasi secara verbal manusia yang semakin munurun pula. Saya mengira ini membutuhkan kontrol diri. Kontrol diri saya artikan sebagai sikap yang memikirkan baik buruknya suatu kegiatan yang dipikirkan oleh individu tersebut sebelum melakukan hal tersebut.
            Siapa bilang tempat sampah yang tersedia jumlahnya kurang? Buktinya ada tempat sampah disebelah juga masih ada orang yang membuang sampah asal lempar, padahal tempat sampah juga jaraknya hanya beberapa langkah. Siapa bilang ketinggalan status teman-teman itu bakal dibilang kuper? Buktinya orang-orang besar sekelas Pak SBY justru akun sosmednya bukan beliau yang menjalankan. Kontrol terhadap perilaku kita itu sangat dibutuhkan. Kitalah orang yang mampu mengontrol diri kita sendiri, bukan orang lain.
            Renungan yang mungkin dapat digunakan sebagai bahan untuk tulisan ini adalah: dulu lingkungan kita ketika Eyang kita lahir masih dipenuhi dengan udara yang sejuk. Sampah rumah tangga hasil konsumsi manusia belum sebanyak saat ini. Jika kita dari dulu waktu SD diajarkan oleh guru untuk selalu membuang sampah pada tempatnya, kenapa sampai saat ini kalimat itu hanya sebatas sebagai kalimat bijak penghias tembok belaka? Atau jangan-jangan memang benar kita itu lebih pintar menghafal dari pada memaknai ilmu?
            Yang kedua, coba bayangkan 10 tahun yang lalu ketika sosial media belum booming seperti sekarang. Apakah mereka para muda-mudi merasa boring ketika sedang menghabiskan waktu berdua di sebuah sudut tempat makan? Ngobrol panjang lebar sambil menghabiskan pesanan makanan mereka. Lalu kenapa sekarang tiba-tiba kita harus sibuk menatap layar smart phone dengan obrolan yang terbatas dan menyendok makanan dimeja dengan mata tetap tertuju pada layar smart phone.
            Gaessss.... bukan bermaksud sok idealis, hanya saja coba renungkan kedua hal di atas apakah ada benarnya kita melakukan semua itu. Dunia semakin tua butuh orang-orang yang smart gaess. Bukan Cuma gadget kalian yang smart, tapi orangnya yang make juga musti lebih smart. Jaga alam dan lihatlah sekitar.