Rabu, 01 Oktober 2014

Maha Pemberi Rizky



            “Mobil Dek, doain Bapak besok bisa mbeliin adek yang kayak gitu ya. Mobil beneran”. Sebuah kalimat yang ku dengar ketika suara Adzan Magrib baru saja berhenti dan diiringi dengan suara tanah tergerus ban mobil yang berjalan. Saat itu aku selesai mandi dan mejemur cucian di samping rumah. Terdengar langkah kaki seorang lelaki dan seorang balita yang sedang digendongnya. Pagar setinggi dua meter itu menghalangi pandangan ku sehingga aku tidak tahu pasti siapa yang sedang berjalan di samping rumah. Tetapi mendengar suaranya aku yakin dia adalah tetangga ku yang rumahnya selisih 4 rumah dari rumah ku.
            Dari perkataan yang dilontarkan sang Bapak, balita itu hanya menanggapi dengan suara rewel khas balita. Rizky, salah satu hal yang terkadang kita bingung memikirkannya. Kata orang bijak, rizky itu sudah ada yang mengatur. Kalau mau dirasa ya memang benar, Tuhan telah mengatur semuanya. Termasuk rizky dari kita akan lahir sampai dengan akhir hayat kita. Namun rupanya perkataan bijak itu tidak selalu manjur untuk menjadi obat penenang disaat kita galau memikirkan rizky.
            Sebagai seorang anak pasti kita ingin untuk membahagiakan orang tua. Kata membahagiakan mungkin masih terdengar abstrak. Jika boleh diperjelas mungkin kata membahagiakan dapat diarahkan berupa seorang anak yang mampu memiliki pekerjaan yang mantap, sehingga secara ekonomi mampu untuk memberikan penghidupan yang layak untuk calon keluarga serta merawat kedua orang tua. Yap..... siapa pun sepakat kalau orang tua tidaklah menginginkan harta benda sebagai balasan selama ini mereka merewat kita. Bukan berarti mempersempit pandangan bahwa kebahagiaan itu adalah harta, tetapi lebih kepada kita mampu menunjukkan keberhasilan dan kesuksesan hasil dari jerih payah didikan orang tua.
            Tapi bagaimana jika kita seorang anak yang ya.... katakanlah sudah usia kerja tetapi sampai sekarang juga belum kunjung mendapatkan pekerjaan. Atau.... seorang anak yang sudah bekerja tetapi gaji yang diperoleh belum mampu untuk memberikan kebahagiaan yang kita anggap sempurna untuk orang tua. Kedua hal ini akan membawa kita serasa jauh dari angan-angan dan mimpi tentang kesuksesan. Seperti sebuah peluang yang menemui jalan sempit dan terbakar dengan api keputus asaan hingga tercium aroma letih dan kepasrahan menunggu episode selanjutnya.
            Antara sadar dan tidak kita masih memegang pesan seorang bijak yang mengatakan Tuhan telah mengatur semuanya. Namun jika selamanya kita hanya ter-nina bobo-kan oleh perkataan itu, apa jadinya? Mungkin yang tepat itu adalah menunggu Tuhan memberikan jalan Nya diwaktu yang Dia kehendahi sembari kita mencoba dengan sebaik mungkin yang kita bisa. Tanpa rasa ragu, rahasia itu milik Nya.
            Tapi juga kenyataan tak semudah itu. Lingkungan sekitar juga terkadang memberikan tekanan yang cukup membuat kita ragu akan apa yang sedang kita jalani, atau bahkan ragu dengan apa yang sedang kita tunggu. Bagaimana cara pandang tetangga, bagaimana para saudara yang siap menertawakan saat kita tak berdaya (saudara macam apa itu? Tapi yap, itulah realita, Anda pasti punya saudara semacam itu bukan?) atau mungkin calon mertua yang mengharapkan idaman hati anaknya segera memiliki pekerjaan. Semua itu akan dengan cepat menghantui dan merusak pemikiran-pemikiran yang sudah rapi Anda susun terkait dengan apa yang Anda lakukan saat ini.
            Tidak ada yang dapat memaksa Tuhan. Tuhan maha kuasa dengan segala kehendak Nya. Siapa yang tahu memang jalan awalnya seperti ini. Namun masa depan tetaplah menjadi rahasia, sifat rahasia itulah yang membuat kita was-was akan seperti apa masa depan kita kelak. Segala yang telah kita susun rapi, termasuk susunan ketenangan hati kita dalam menjalankan “masa tunggu karunia Tuhan” akan dengan seketika lenyap saat kita menghadapi semua bentuk tuntutan dari lingkungan sekitar. Kita pun akan mempertanyakan apakah sebenarnya yang kita lakukan ini dalam menunggu adalah sebuah pilihan yang tepat?
            Kenapa kita dapat berpikiran ini tepat atau tidak? Karena bagi mereka para “penonton” kita tidak melakukan apa-apa. Bagi mereka kita hanya terlalu nyaman dalam berpegang teguh pada pernyataan Tuhan telah mengatur semua. Hal ini wajar kerena yang mereka inginkan adalah hasil, selama kita belum memiliki hasil, mereka akan mempertanyakan terus!!!
            Sebenarnya kita dapat mengabaikan semua tuntutan mereka, tetapi jika itu adalah orang yang kita cintai misal orang tua dan istri, apakah kita masih akan cukup memiliki akal sehat untuk berpegang teguh terhadap pernyataan awal? Saya rasa ini adalah semacam ujian sejauh mana kita percaya kepada Tuhan bahwa hidup kita telah dijamin oleh Nya. Kesabaran, kedekatan kita dengan Tuhan akan membawa kita mampu melewati ini semua. Tetapi melihat harapan orang tua tak kunjung datang memanglah sangat menyakitkan. Sangat!!
            Para ulama pernah berkata bahwa Tuhan itu selalu menurunkan apa yang memang sudah dijanjikan untuk hamba Nya. Permasalahnnya sekarang terkadang manusia memilih melakukan kesalahan kecil yang menjadikan Tuhan merasa perlu untuk menunda pemberian Nya. Memperbaiki diri menjadi jalan yang paling utama untuk instrospeksi.