Selasa, 30 Juni 2015

Pacaran Penting Nggak Sih?


            Sejak kapan mengungkapkan rasa cinta kepada lawan jenis menjadi begitu penting bagi para pelajar Indonesia? Pertanyaan itu muncul dengan tiba-tiba dibenak saya. Saat itu disuatu petang yang damai dan bertepatan dengan malam Minggu saya bersama keluarga sedang berkeliling kota. Sepanjang perjalanan saya melihat banyak muda-mudi hilir mudik berboncengan memakai sepeda motor. Melihat kondisi lalu lintas yang agak ramai awalnya saya mengira di kota sedang ada pertunjukan musik atau semacamnya. Namun perlahan saya baru menyadari ini malam Minggu.
            Jika ditanya mengenai berapa jumlah pelajar Indonesia saat ini yang berstatus pacaran, secara kuantitatif saya tidak bisa menyebutkan dengan pasti. Namun jika dipaparkan secara kualitatif berdasarkan pengamatan atas apa yang terjadi, saya rasa cukup membuat kita yakin kalau pacaran nampaknya menjadi tugas tambahan bagi sebagian pelajar saat ini.
            Yap ... saya katakan sebagian, karena saya percaya diantara sekian banyak pelajar Indonesia masih ada kok yang fokus terhadap tugas mereka belajar. Masih ada kok pelajar yang giat belajar untuk bertekat menggenggam merah putih di podium olimpiade, masih ada kok pelajar yang giat berlatih tak kenal lelah untuk mengharumkan tim Indonesia di bidang olah raga, dan masih ada kok pelajar yang sibuk mengembangkan bakat-bakat yang mereka miliki untuk mengejar apa yang mereka impikan. Ya ... walaupun saya juga tidak tahu pasti kata sebagian itu lengkapnya sebagian besar atau sebagian kecil.
            Hal ini kemudian membuat saya berpikir kira-kira apa yang dapat menjelaskan fenomena pacaran yang terjadi dikalangan pelajar. Hal ini menjadi penting karena saat ini rupanya pelajar sudah tidak tabu lagi dalam hal tembak-menembak pujaan hati, selanjutnya apa? Hal semacam ini diperparah dengan timbulnya sikap yang tidak bertanggung jawab terhadap tugas mereka sebagai pelajar bahkan terhadap moral mereka.
            Saya mencoba untuk mengurai hal ini dari beberapa sisi, di antaranya yaitu dari sisi perkembangan psikologis remaja dan sisi sosial.
1.      Perkembangan psikologis remaja.
Dalam perkembangan psikologis anak kita mengetahui fase remaja awal dimulai sekitar usia 12 tahun. Usia dimana pertumbuhan secara fisik mulai terlihat. Tidak terkecuali rasa ketertarikan kepada lawan jenis juga mulai tumbuh. Jadi secara perkembangan psikologis, mereka berarti mengalami perkembangan yang normal. Hanya saja mereka belum mampu menempatkan rasa ketertarikan ini dengan semestinya. Lantas apakah teori perkembangan psikologis ini sudah cukup untuk menjawab pertanyaan di atas? Tentunya belum, masih banyak hal lain yang mendorong dan melengkapi.
2.      Sosial.
Selanjutnya dari segi sosial. Sosial di sini saya maksudkan sebagai lingkungan sekitar tempat anak tumbuh dan berkembang. Lingkungan dapat diurai lagi sebagai lingkungan secara fisik maupun siapa saja individu yang berinteraksi dan mampu memberikan pengaruh. Tidak semua orang tua setuju dengan kegiatan pacaran dimasa sekolah. Namun tanpa kita sadari ada juga orang tua dengan dalih “ya memang zamannya sekarang seperti itu, jadi anak kalau dilarang nanti malah membangkang” akhirnya memberi izin secara halus untuk anaknya berpacaran walaupun dengan batasan yang tegas.
Dorongan selanjutnya diperkuat melalui lingkungan eksternal, yaitu apa yang remaja lihat serta rasakan dari keadaan di sekitarnya. Lingkungan eksternal ini justru yang memberi dukungan paling besar. Sebut saja banyaknya teman sebaya yang berpacaran, acara televisi yang rasa-rasanya mengisyaratkan masa muda itu dipenuhi rasa saling suka yang terpendam antar dua insan, bacaan cerita roman remaja, bahkan mungkin sindiran bagi kaum jomblo yang saat ini bertebaran di dunia maya. Semua itu seakan mengisyaratkan pacaran itu wajar kok.

            Semua indikator di atas dengan sempurna membentuk diagram lingkaran dengan besaran prosentase masing-masing. Karena mereka belum mampu mengontrol rasa cinta yang mereka miliki, pacaran usia pelajar ini tidak jarang diikuti dengan beberapa hal yang justru lebih banyak tidak baiknya. Misalnya mereka yang berpacaran diharuskan malam Mingguan, pergi makan, nonton bioskop, antar jemput pacar. Pernahkah kalian berpikir kenapa ngapel itu harus malam Minggu? Kenapa tidak hari lain? Ya ... karena zaman dulu lelaki yang akan ke rumah pujaan hatinya selalu mencari waktu luang di luar kesibukan pekerjaan. Karena hari Minggu libur, akhirnya malam Minggu deh waktu yang tepat. Jadi intinya zaman dahulu kegiatan semacam pacaran hanya dilakukan oleh orang dewasa yang sudah bekerja, memiliki penghasilan sendiri yang bisa digunakan untuk membelikan kado atau sekedar traktiran makan untuk pujaan hatinya. Nah kalau konsep semacam itu diadopsi anak-anak ingusan zaman sekarang, dapat uang dari mana? Orang tua kan ujung-ujungnya. Terus kalau sudah seperti itu masih pantas gitu apa yang kalian lakukan?
            Belum lagi kalau kemana-mana selalu berdua, minta selalu diperhatikan, bermesraan. Hal semacam itu hanya pantas dilakukan oleh suami istri, selain pasangan yang sah ya berarti dosa. Mungkin berawal dari merasa sebagai pacar saya berhak merapikan poninya, berhak menggandeng tangannya, juga berhak memaksakan kehendak. Kadang merasa geli membaca status anak-anak muda di media sosial mereka yang setengah curcol karena berantem dengan pasangan gara-gara yang satu suka maksa, yang satu gak mau nurut. Benar-benar hubungan psikologis yang tidak sehat. Terkadang hal semacam ini akhirnya berujung putus, sirna sudah harapan manis semasa pacaran. Tapi ibarat peribahasa mati satu tumbuh seribu, seiring berjalannya waktu toh mereka menemukan (lagi) tambatan hati baru.
            Saya rasa dari semua hal di atas tidak satu pun yang menyinggung tugas utama pelajar untuk belajar. Tugas utama pelajar justru akan semakin terkesampingkan gara-gara fokus mereka sudah beralih dari mengembangkan potensi ke menyenangkan pasangan. Satu-satunya orang yang harus disenangkan saat ini adalah orang tua. Karena berkat pengorbanan mereka berdua, kita bisa sampai di tahap ini. Makanya yuk kita resapi dulu, menyenangkan hati orang tua itu jauh lebih utama dan jauh lebih mulia.
            Jika di ilmu ekonomi kita mengenal skala prioritas dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari, saya rasa skala priorotas tersebut juga cocok kita terapkan dalam kehidupan pelajar Indonesia untuk hal pacaran. Skala prioritas mengajarkan kita untuk dapat memilih, memilah dan mengurutkan mana kebutuhan yang harus dipenuhi mulai dari kebutuhan yang paling mendesak hingga kebutuhan yang tidak penting. Dalam proses pengurutan ini kita akan menghadapi konflik antara kebutuhan dan keinginan.
            Sama seperti kondisi para pelajar Indonesia saat ini. Mereka harus dapat membedakan mana kebutuhan dalam menuntut ilmu dan mana yang hanya bersifat sebagai keinginan. Jika dikaitkan dengan perasaan ketertarikan mereka terhadap lawan jenis, perasaan ini timbulnya alamiah dan bagian dari perkembangan remaja. Namun bukan berarti itu merupakan salah satu alasan untuk melegalkan pacaran. Tapi itukan hak masing-masing? Yap ... benar sekali, itu merupakan hak masing-masing individu tapi kita harus ingat bahwa tugas utama pelajar adalah belajar bukan pacaran.
            Posisi generasi muda khususnya para pelajar sangatlah penting bagi bangsa, karena kelak mereka akan menggantikan generasi yang tua. Jadi jangan membuang waktu berharga kalian dengan drama menyedihkan penuh tetesan air mata.
            Rasa cinta dan ketertarikan kepada lawan jenis adalah anugerah dari Yang Maha Kuasa dan itu suci. Jangan mengotori kesucian cinta dengan nafsu untuk memiliki. Jodoh itu sudah di atur oleh Tuhan, mereka tidak hanya ada di dalam pagar sekolah. Jodoh itu tersimpan rapi hingga Tuhan menganggap kita sudah pantas untuk bertemu dengannya. Cinta itu berhubungan langsung dengan hati, tetapi jangan lupa bahwa manusia selain memiliki hati juga memiliki akal. Setidaknya itulah yang membedakan manusia dengan mahluk yang lain.

            Ibu pertiwi sudah muak dengan berita penyimpangan seksual di luar nikah dan perilaku negatif lainnya. Ibu pertiwi menunggu kontribusi nyata dari kalian para pelajar Indonesia. Selamat belajar para pelajar Indonesia, jadilah pelajar yang cerdas.