Sabtu, 29 November 2014

Bunga di Tepi Jalan



            Tak seperti biasanya, peringatan hari guru nasional yang ke- 69 kali ini memiliki makna yang mendalam bagi saya. Selain sejak dari pagi saya merasa terharu karena berita televisi yang dipenuhi dengan acara penyerahan kado, kue atau sungkeman yang dilakukan oleh siswa kepada guru di sekolah mereka. Hal lainnya yang membakar api semangat dalam diri yaitu acara dialog bersama menteri pendidikan Anies Baswedan di salah satu televisi swasta. Dengan gaya tutur kata beliau yang khas, saya mendapatkan semacam harapan serta angan-angan baru untuk pendidikan Indonesia yang lebih baik khususnya mengenai aspek guru.
            Saya sepakat ketika beliau mengungkapkan bahwa apa yang kita rasakan pada diri kita sampai saat ini adalah berkat jasa para guru kita di masa lampau. Tidak peduli bagaimana kita berjuang menaklukkan hidup saat ini, tetapi bekal yang telah kita gunakan adalah dari mereka para guru. Ketika saat ini sebagian dari kita telah merasakan titik kejayaan, jika kita mau untuk menoleh bagaimana para guru kita di masa lampau, mungkin beliau masih tetap saja bersahaja seperti dulu kala persis saat kita masih duduk dihadapan beliau di sebuah ruang kelas. Walau pun memang saat ini beberapa guru kita sudah memiliki tunjangan yang mumpuni, tetapi saya rasa sisa-sisa tenaga itu masih terlihat.
            Seketika saya teringat Ibu saya yang juga seorang guru SD yang telah mengabdi selama 30 tahun. Menjadi seorang guru adalah pengabdian, saya rasa itu ungkapan yang paling tepat untuk menggambarkan usaha beliau selama ini. Saya sering mendengar cerita darinya mengenai siapa saja anak didiknya yang saat ini telah menjadi dokter, polisi, pengusaha tekstil, pedagang kios. 30 tahun bukan waktu yang singkat, ratusan siswa telah beliau bimbing, ratusan siswa telah beliau berikan ilmu pengetahuan. Seketika itu saya benar-benar terharu memikirkan sosok yang sering dipanggil dengan sebutan guru.
            Jika sudah demikian lalu mengapa saat ini masih saja terasa seakan pendidikan kita tidak memiliki hasil yang signifikan di masyarakat? Pertanyaan tersebut sedikit terjawab ketika saya hari ini sedang melakukan perjalanan pulang dari rumah saudara yang letaknya disalah satu sudut desa. Perjalanan tersebut saya secara tidak sengaja bertemu dengan teman lama dari Om. Om Handoko (Om Doko) demikian saya memanggilnya. Saling sapa yang tidak sengaja itu terjadi di tengah jalan dan secara spontan kami lanjutkan dengan bertanya kabar. Sebuah peristiwa yang tidak direncanakan sebelumnya dan dengan situasi yang sedikit terburu-buru menjadikan kita ngobrol ditepi jalan. Obrolan yang niatnya hanya sekilas ternyata panjang lebar hingga 45 menit. 45 menit kita menghabiskan waktu ditepi jalan dengan lalu lalang para tetangga.
            Itulah mengapa saya sebut tulisan ini bunga di tepi jalan. Karena selama obrolan di tepi jalan itu saya kembali menemukan sesuatu pemikiran yang berbeda dari masyarakat umumnya yang saya dapatkan dari beliau. Kita membicarakan banyak hal, tapi entah mengapa seakan tema kita saat itu berkutat seputar pendidikan. Nah pertanyaan di atas dalam obrolan kami menyebut sebagai adanya sebuah pemasungan makna pendidikan oleh masyarakat kita saat ini. Sekolah hanya dipandang sebagai sebuah tahap yang harus dilewati oleh para pemuda usia sekolah tanpa melihat secara menyeluruh bagaimana sebenarnya harapan dari pendidikan itu. Ditambah lagi dengan pergeseran peran guru yang semakin tergeser oleh zaman tetapi sumber daya kita tidak mengikuti perkembangan tersebut. Hal semacam itu berulang terus-menerus berpuluh-puluh tahun hingga semacam inilah kejadian yang “menimpa” kita.
            Pendidikan menyiapkan manusia sebagai seorang problem solver yang saat ini lebih cenderung sebagai penikmat hasil akhir dari pada proses. Masyarakat kita hingga saat ini masih memiliki orang-orang yang radikal. Radikal dalam hal ini saya artikan sebagai orang-orang yang berpemikiran jauh kedepan, tidak hanya sekedar seperti inilah memang kenyataannya, lebih kepada bagaimana memperbaiki ini semua. Namun jumlah masyarakat yang demikian hanya minoritas dan masih kalah jumlahnya dengan masayarakat yang Dogmatis. Hal inilah yang selama ini sedikit mengganggu pemikiran saya. Saya berpikir jika memang benar demikian (minoritas selalu kalah dengan mayoritas) lalu bagaimana sebuah gerakan perubahan akan terjadi?
            Sore itu saya benar-benar bersyukur bertemu dengan beliau walau pun dalam posisi yang sedikit tidak nyaman. Beliau mengungkapkan bahwa untuk menghadapi hal yang demikian kita tidak perlu bersusah payah untuk mendebat mereka. Masyarakat adalah hakim yang paling kejam. Tanpa data yang jelas dan akurat mereka dapat saja dengan segera menyalahkan setiap orang yang terkesan “melenceng” dari biasanya. Biarkanlah mereka dengan argumen mereka sendiri, kita tidak perlu memaksakan pemikiran-pemikiran kita kepada mereka. Yang terpenting adalah bagaimana kita tetap bisa menyalurkan gagasan-gagasan kita walau pun itu berjalan dengan lambat, ya ....syukur kalau bisa berjalan cepat. Namun pelan pun tidak menjadi masalah asalkan gagasan itu masih tetap hidup.
            Menjadi seorang yang idealis itu perlu karena itu semacam prinsip yang kita pegang sehingga kita tidak dengan mudah terbawa arus, tetapi sikap realis juga harus kita perhatikan karena itulah yang menjaga kita agar tidak terlampau egois.
            Hari ini melalui sebuah tayangan berita televisi dan pertukaran ide dengan seseorang yang saya sebut sebagai senior telah memberikan banyak wawasan yang membawa saya kepada perenungan ini. Selamat hari guru nasional kepada Ibu saya, guru-guru saya sejak dari SD hingga perguruan tinggi, serta seluruh guru di pelosok Nusantara apa pun itu sebutan bagi mereka (entah guru swasta, guru honorer, guru kursus, bahkan guru ngaji sekali pun). Jangan berhenti berharap dan mendatangkan perubahan.

Rabu, 01 Oktober 2014

Maha Pemberi Rizky



            “Mobil Dek, doain Bapak besok bisa mbeliin adek yang kayak gitu ya. Mobil beneran”. Sebuah kalimat yang ku dengar ketika suara Adzan Magrib baru saja berhenti dan diiringi dengan suara tanah tergerus ban mobil yang berjalan. Saat itu aku selesai mandi dan mejemur cucian di samping rumah. Terdengar langkah kaki seorang lelaki dan seorang balita yang sedang digendongnya. Pagar setinggi dua meter itu menghalangi pandangan ku sehingga aku tidak tahu pasti siapa yang sedang berjalan di samping rumah. Tetapi mendengar suaranya aku yakin dia adalah tetangga ku yang rumahnya selisih 4 rumah dari rumah ku.
            Dari perkataan yang dilontarkan sang Bapak, balita itu hanya menanggapi dengan suara rewel khas balita. Rizky, salah satu hal yang terkadang kita bingung memikirkannya. Kata orang bijak, rizky itu sudah ada yang mengatur. Kalau mau dirasa ya memang benar, Tuhan telah mengatur semuanya. Termasuk rizky dari kita akan lahir sampai dengan akhir hayat kita. Namun rupanya perkataan bijak itu tidak selalu manjur untuk menjadi obat penenang disaat kita galau memikirkan rizky.
            Sebagai seorang anak pasti kita ingin untuk membahagiakan orang tua. Kata membahagiakan mungkin masih terdengar abstrak. Jika boleh diperjelas mungkin kata membahagiakan dapat diarahkan berupa seorang anak yang mampu memiliki pekerjaan yang mantap, sehingga secara ekonomi mampu untuk memberikan penghidupan yang layak untuk calon keluarga serta merawat kedua orang tua. Yap..... siapa pun sepakat kalau orang tua tidaklah menginginkan harta benda sebagai balasan selama ini mereka merewat kita. Bukan berarti mempersempit pandangan bahwa kebahagiaan itu adalah harta, tetapi lebih kepada kita mampu menunjukkan keberhasilan dan kesuksesan hasil dari jerih payah didikan orang tua.
            Tapi bagaimana jika kita seorang anak yang ya.... katakanlah sudah usia kerja tetapi sampai sekarang juga belum kunjung mendapatkan pekerjaan. Atau.... seorang anak yang sudah bekerja tetapi gaji yang diperoleh belum mampu untuk memberikan kebahagiaan yang kita anggap sempurna untuk orang tua. Kedua hal ini akan membawa kita serasa jauh dari angan-angan dan mimpi tentang kesuksesan. Seperti sebuah peluang yang menemui jalan sempit dan terbakar dengan api keputus asaan hingga tercium aroma letih dan kepasrahan menunggu episode selanjutnya.
            Antara sadar dan tidak kita masih memegang pesan seorang bijak yang mengatakan Tuhan telah mengatur semuanya. Namun jika selamanya kita hanya ter-nina bobo-kan oleh perkataan itu, apa jadinya? Mungkin yang tepat itu adalah menunggu Tuhan memberikan jalan Nya diwaktu yang Dia kehendahi sembari kita mencoba dengan sebaik mungkin yang kita bisa. Tanpa rasa ragu, rahasia itu milik Nya.
            Tapi juga kenyataan tak semudah itu. Lingkungan sekitar juga terkadang memberikan tekanan yang cukup membuat kita ragu akan apa yang sedang kita jalani, atau bahkan ragu dengan apa yang sedang kita tunggu. Bagaimana cara pandang tetangga, bagaimana para saudara yang siap menertawakan saat kita tak berdaya (saudara macam apa itu? Tapi yap, itulah realita, Anda pasti punya saudara semacam itu bukan?) atau mungkin calon mertua yang mengharapkan idaman hati anaknya segera memiliki pekerjaan. Semua itu akan dengan cepat menghantui dan merusak pemikiran-pemikiran yang sudah rapi Anda susun terkait dengan apa yang Anda lakukan saat ini.
            Tidak ada yang dapat memaksa Tuhan. Tuhan maha kuasa dengan segala kehendak Nya. Siapa yang tahu memang jalan awalnya seperti ini. Namun masa depan tetaplah menjadi rahasia, sifat rahasia itulah yang membuat kita was-was akan seperti apa masa depan kita kelak. Segala yang telah kita susun rapi, termasuk susunan ketenangan hati kita dalam menjalankan “masa tunggu karunia Tuhan” akan dengan seketika lenyap saat kita menghadapi semua bentuk tuntutan dari lingkungan sekitar. Kita pun akan mempertanyakan apakah sebenarnya yang kita lakukan ini dalam menunggu adalah sebuah pilihan yang tepat?
            Kenapa kita dapat berpikiran ini tepat atau tidak? Karena bagi mereka para “penonton” kita tidak melakukan apa-apa. Bagi mereka kita hanya terlalu nyaman dalam berpegang teguh pada pernyataan Tuhan telah mengatur semua. Hal ini wajar kerena yang mereka inginkan adalah hasil, selama kita belum memiliki hasil, mereka akan mempertanyakan terus!!!
            Sebenarnya kita dapat mengabaikan semua tuntutan mereka, tetapi jika itu adalah orang yang kita cintai misal orang tua dan istri, apakah kita masih akan cukup memiliki akal sehat untuk berpegang teguh terhadap pernyataan awal? Saya rasa ini adalah semacam ujian sejauh mana kita percaya kepada Tuhan bahwa hidup kita telah dijamin oleh Nya. Kesabaran, kedekatan kita dengan Tuhan akan membawa kita mampu melewati ini semua. Tetapi melihat harapan orang tua tak kunjung datang memanglah sangat menyakitkan. Sangat!!
            Para ulama pernah berkata bahwa Tuhan itu selalu menurunkan apa yang memang sudah dijanjikan untuk hamba Nya. Permasalahnnya sekarang terkadang manusia memilih melakukan kesalahan kecil yang menjadikan Tuhan merasa perlu untuk menunda pemberian Nya. Memperbaiki diri menjadi jalan yang paling utama untuk instrospeksi.

Senin, 29 September 2014

Sampah Dunia Nyata dan Sampah Dunia Maya



            Sampai saat ini saya masih sering melihat seseorang dengan mudahnya membuang sampah sembarangan. Entah itu dibuang di sungai atau dibuang dengan begitu saja ditempat itu juga tepat ketika mereka selesai menghabiskan cemilan. Misalnya nih ya, sering saya lihat orang-orang berkendara dengan menggunakan mobil dengan seenak perutnya membuang bungkus makanan dari dalam mobil yang melaju. Tinggal buka kaca jendela dan weeerrrr plastik makanan terbang ketengah jalan. Atau satu lagi, mereka yang sedang menikmati makanan ringan sambil ngobrol dengan temannya, juga dengan seenak udelnya sendiri membuang bungkusnya dibawah tempat obrolan mereka.
            Apa sebenarnya yang sedang dihadapi masyarakat kita saat ini? Sampai-sampai kepedulian terhadap sesama dan lingkungan juga terabaikan. Kepedulian terhadap sesama? Yap, lihat saja itu mereka selalu sibuk dengan gadget yang mereka genggam. Beberapa menit sekali pasti mereka akan mengecek sosmed yang mereka miliki. Gak tau deh seberapa penting sosmed buat mereka. Gak tau juga apa isi sosmed mereka. Kalau isinya Cuma sekedar pertemanan biasa, rasanya kok terlalu berlebihan jika kita harus memantau perkembangan status dari teman-teman sampai disetiap menitnya. Kecuali kita melalui sosmed mengikuti hal-hal yang penting seperti akun siaran berita, surat kabar atau akun-akun pengetahuan mungkin akan mendatangkan manfaat. Coba kalau kita berani jujur berapa prosentase waktu yang kita gunakan dalam sehari untuk keperluan sosial media?
            Dua hal ini yang saat ini memenuhi ruang pikiran saya. Satu sisi lingkungan yang semakin menurun kualitasnya karena ulah manusia, sisi lain kualitas komunikasi secara verbal manusia yang semakin munurun pula. Saya mengira ini membutuhkan kontrol diri. Kontrol diri saya artikan sebagai sikap yang memikirkan baik buruknya suatu kegiatan yang dipikirkan oleh individu tersebut sebelum melakukan hal tersebut.
            Siapa bilang tempat sampah yang tersedia jumlahnya kurang? Buktinya ada tempat sampah disebelah juga masih ada orang yang membuang sampah asal lempar, padahal tempat sampah juga jaraknya hanya beberapa langkah. Siapa bilang ketinggalan status teman-teman itu bakal dibilang kuper? Buktinya orang-orang besar sekelas Pak SBY justru akun sosmednya bukan beliau yang menjalankan. Kontrol terhadap perilaku kita itu sangat dibutuhkan. Kitalah orang yang mampu mengontrol diri kita sendiri, bukan orang lain.
            Renungan yang mungkin dapat digunakan sebagai bahan untuk tulisan ini adalah: dulu lingkungan kita ketika Eyang kita lahir masih dipenuhi dengan udara yang sejuk. Sampah rumah tangga hasil konsumsi manusia belum sebanyak saat ini. Jika kita dari dulu waktu SD diajarkan oleh guru untuk selalu membuang sampah pada tempatnya, kenapa sampai saat ini kalimat itu hanya sebatas sebagai kalimat bijak penghias tembok belaka? Atau jangan-jangan memang benar kita itu lebih pintar menghafal dari pada memaknai ilmu?
            Yang kedua, coba bayangkan 10 tahun yang lalu ketika sosial media belum booming seperti sekarang. Apakah mereka para muda-mudi merasa boring ketika sedang menghabiskan waktu berdua di sebuah sudut tempat makan? Ngobrol panjang lebar sambil menghabiskan pesanan makanan mereka. Lalu kenapa sekarang tiba-tiba kita harus sibuk menatap layar smart phone dengan obrolan yang terbatas dan menyendok makanan dimeja dengan mata tetap tertuju pada layar smart phone.
            Gaessss.... bukan bermaksud sok idealis, hanya saja coba renungkan kedua hal di atas apakah ada benarnya kita melakukan semua itu. Dunia semakin tua butuh orang-orang yang smart gaess. Bukan Cuma gadget kalian yang smart, tapi orangnya yang make juga musti lebih smart. Jaga alam dan lihatlah sekitar.

Kamis, 14 Agustus 2014

Pemenang Dalam Kategori Berbeda

     10 Agustus 2014 saya mendampingi salah dua siswa dari sekolah Kami untuk mengikuti lomba kompetensi siswa (LKS) SMK tingkat kota Semarang. Ini boleh dikatakan sebagai lomba mata pelajaran, atau olimpiade jika pada tingkatan SMA. Suasana tegang dan serius nampak dari seluruh raut wajah peserta, walau pun saat itu masih serangkaian acara pembukaan oleh panitia.
    Banyak hal serta pengalaman yang saya dapatkan sebagai seorang guru pembimbing. Bagi saya, gelar juara 1, 2 dan 3 bukanlah tujuan akhir yang ingin saya tetapkan. Hal ini mengingat sekolah lain memiliki persiapan yang jauh lebih matang dengan dukungan sarana dan prasarana serta kesempurnaan pengajaran ditiap  kegiatan belajar mengajar (KBM) setiap harinya. Bukan berarti saya pesimis, hanya saja mencoba untuk bersikap realistis dengan keadaan yang ada. Ya ..... itu semua memang menjadi kebanggaan tersendiri jika siswa kita mampu membawa pulang salah satu dari gelar juara tersebut. Namun saya merasa ada hal yang jauh lebih penting dari sekedar membawa pulang gelar juara 1, 2 dan 3.
        Melihat siswa pilihan kita belajar dengan sungguh-sungguh, melihat bagaimana mereka berjuang sekuat tenaga dan pikiran, serta melihat bagaimana mereka berniat untuk memberikan yang terbaik untuk sekolahnya, semua itu adalah kemenangan yang jauh lebih bermakna. Dengan segala kesulitan mengerjakan soal yang disusun oleh panitia lomba, mereka dengan berkeyakinan kuat tetap bertahan dan menunjukkan semangat juang yang tinggi. Menyerah dan putus asa sama sekali tidak ada di raut wajah mereka.
       Dari kegiatan lomba semacam ini justru saya menemukan sebuah pemikiran bahwa setiap siswa memiliki kemampuan dan kecerdasan level mereka masing-masing. Artinya semua materi perlombaan mungkin bisa saja kita "drill-kan" kepada mereka. Namun sebagai seorang guru jika kita cukup jeli, maka selama proses persiapan lomba kita akan menemukan sisi lain dari kecerdasan yang dimiliki siswa. Sisi lain inilah yang kita gunakan sebagai "daya ledak". Saya sebut  sebagai daya ledak karena inilah yang akan kita gunakan untuk mengoptimalkan siswa dalam mengerjakan seluruh rangkaian soal selama perlombaan. Jadi bisa saja siswa lemah di satu hal, tetapi kuat dihal yang lain. Kemudian alasan yang lainnya dan menurut saya ini adalah alasan yang paling penting adalah sebagai daya ledak kelak ketika mereka tumbuh sebagai individu yang benar-benar mandiri. Dengan kata lain, daya ledak ini adalah memunculkan potensi siswa yang sebelumnya belum tampak atau pun sudah nampak akan tetapi masih samar-samar.
       Memunculkan potensi, inilah poin yang saya anggap penting. Jika kita hanya menargetkan juara 1, 2 atau 3 saja maka ada dua kemungkinan yang akan kita dapatkan. Pertama, rasa senang dan bangga jika kita berhasil memperoleh salah satu juara. Kedua, rasa kecewa jika ternyata hasil akhir perlombaan tidak sesuai dengan harapan yang kita inginkan. Dari kedua kemungkinan tersebut saya rasa lomba-lomba semacam ini hanya akan menjadi sebuah ajang adu kepintaran antar sekolah, dan efek jangka panjangnya? Masih tetap sama: rasa bangga bagi para juara dan rasa kecewa bagi mereka yang tidak mendapat urutan tiga besar. Namun akan menjadi beda ceritanya jika kita memandang lomba ini sebagai moment untuk memberikan pengalaman kepada siswa kita. Pengalaman, kata tersebut memang sering dilontarkan oleh guru kepada siswa yang ditunjuk mewakili lomba, tetapi sayang kata tersebut tidak banyak yang mendalami maknanya.
     Saya rasa akan lebih sempurna lagi jika pemaknaan kata pengalaman tersebut dipadukan dengan penggalian potensi siswa. Jadi urutan keberapa pun siswa dalam pengumuman hasil lomba, hal itu tidak menjadi masalah karena siswa akan benar-benar tahu tentang potensi yang selama ini dimilikinya. Efek jangka panjangnya? Mereka tidak akan terlarut dalam kesedihan jika ternyata urutan tiga besar bukanlah dirinya. Bahkan dengan kegigihan dan kesungguhan dalam mempersiapkan sesuatu, potensi yang sudah tergali, pengalaman merasakan suasana perlombaan, saling sharing antar peserta, akan mampu membangaun kepercayaan diri yang luar biasa hebat. Saya yakin hal yang demikian tidak akan berhenti setelah perlombaan usai, justru kemampuan mereka akan selalu berkembang seiring perkembangan usia mereka. Sungguh pengalaman yang komplit bukan?
     Jika kita sebagai guru mampu menangani lomba semacam ini dengan baik, tentunya kita akan menargetkan sebuah target jangka panjang. Apakah itu? Itu adalah bagaimana sebuah perlombaan dapat digunakan sebagai pengembangan diri siswa kelak ketika mereka mulai meniti masa depan. Sadarkah kita? Ternyata lomba juga bermuatan pendidikan karakter rupanya.
      Artikel ini saya persembahkan kepada Fiona Yustine Siahaan dan Ade Oktaviani yang sudah memberikan seluruh kemampuannya selama mengikuti perlombaan. Proses perjuangan kalian sungguh luar biasa, dari kalian saya belajar dan berhasil mengungkap semua ini. Bagi saya kalian adalah juara. Sedikit mengutip dari perkataan Fiona "Tidak perlu sampai pada tingkatan juara. Kita hanya ingin disetiap perlombaan sekolah kita ada peningkatan."
         Terima kasih telah membawa peningkatan bagi sekolah kita tercinta, akan tetapi justru peningkatan itu saya melihat ada juga pada kalian.

Rabu, 09 Juli 2014

Memilih Sekolah Berkualitas

            Kita selalu menemukan hal unik ketika membahas mengenai bagaimana sebenarnya sekolah yang berkualitas. Hal ini saya rasa tepat untuk kita kaji bersama mengingat tahun ajaran baru akan dimulai beberapa bulan lagi dan saat ini masing-masing sekolah sudah mempersiapkan diri untuk melaksanakan kegiatan penerimaan peserta didik baru.
             Seluruh rangkaian kegiatan tersebut tentunya berujung pada orang tua sebagai orang yang akan memilih dimana anak disekolahkan. Di awal saya katakan kita akan banyak menemui hal unik misalnya sebagai berikut, ada pendapat bahwa sekolah yang berbiaya mahal adalah sekolah yang bermutu bagus. Jika memang benar demikian lantas apakah kemudian sekolah yang memasang tarif terjangkau bahkan yang bertuliskan bebas uang gedung adalah kategori sekolah yang sebaliknya?
            Sebagai orang tua pasti berkeinginan anaknya memperoleh pendidikan yang terbaik. Namun tidak dipungkiri bahwa faktor yang menjadi pertimbangan orang tua sangat banyak. Seperti halnya masalah biaya, lingkungan, reputasi sekolah, harapan setelah anak lulus merupakan hal yang dipikirkan orang tua sebelum memantapkan pilihan pada satu sekolah. Jangan sampai orang tua telah mengeluarkan biaya banyak tetapi merasa salah pilih.
            Sekolah yang berkualitas oleh Syafaruddin (2002: 91) dapat kita sebut sebagai sekolah yang efektif. Dimana terdapat tiga sudut pandang yang dapat mengkategorikan sekolah sebagai sekolah yang efektif. Pertama, organisasi sekolah dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Faktor internal meliputi efektivitas kepemimpinan kepala sekolah, profesionalisme guru, dukungan staf yang baik, pembiayaan yang cukup, sarana prasarana yang memadahi serta iklim sekolah yang baik. Sedangkan faktor eksternal meliputi dukungan dewan sekolah, industri, pemerintah dan masyarakat.
            Kedua, interaksi kegiatan belajar mengajar antara siswa dan guru bermuara pada pencapaian tujuan pendidikan. Ketiga, hasil atau prestasi yang dapat diukur dan dapat dikaitkan dengan mutu. Dari ketiga sudut pandang tersebut orang tua dapat menilai sejauh mana upaya yang telah dilakukan oleh sekolah dalam mencapai kategori sekolah efektif. Untuk dapat menilai semua hal tersebut maka sudah tentu orang tua perlu mendapatkan sumber informasi yang jelas.
Fungsi Ganda
            Terkait dengan sumber informasi, orang tua dapat mengatakan sekolah tersebut berkualitas atau tidak biasanya berawal dari opini yang berkembang di masyarakat. Opini ini merupakan penilaian atas apa yang dicerminkan sekolah dan mampu ditangkap oleh masyarakat. Dari ketiga sudut pandang yang telah disebutkan di atas saya melihat hal ini mempunyai fungsi ganda. Selain sebagai tolok ukur orang tua untuk menilai sekolah, sisi lainnya yaitu dapat digunakan oleh pihak sekolah untuk memperbaiki diri.
            Maksudnya adalah sebagai berikut, jika sekolah ingin dipandang sebagai sekolah yang berkualitas maka semua faktor yang telah disebutkan tadi harus dipenuhi dan dilaksanakan terlebih dahulu dengan baik. Perbaikan manajemen perlu dilakukan terus menerus sehingga sekolah memiliki kemantapan program. Pengelolaan yang baik serta program-program yang bermutu selanjutnya dapat disebut sebagai keunggulan yang dimiliki sekolah.
Ketika semua telah dilaksanakan dengan baik, maka selanjutnya sekolah berkewajiban untuk mempublikasikan keunggulan tersebut kepada masyarakat. Hal ini bertujuan untuk memberikan informasi kepada masyarakat dan manfaat jangka panjangnya masyarakat akan mengetahui kualitas yang dimiliki sekolah sehingga mempercayakan pendidikan anak kepada sekolah kita.
Publikasi atau promosi inilah yang saya rasa sampai saat ini masih belum mampu dilakukan oleh sekolah dengan sempurna. Ketika mendekati tahun ajaran baru seperti sekarang, di tepi jalan kita melihat banyak sekali spanduk dari berbagai sekolah. Selain itu ada juga kegiatan presentasi ke sekolah-sekolah, serta pembagian brosur kepada para siswa yang baru lulus. Pertanyaan selanjutnya adalah seberapa besar prosentase keberhasilan menarik minat siswa untuk mendaftar di sekolah kita dengan cara tersebut?
Bukan berarti cara-cara tersebut tidak perlu dilakukan, hanya saja yang lebih penting untuk dilakukan adalah menemukan cara publikasi keunggulan sekolah secara kontinyu bukan hanya saat menjelang tahun ajaran baru. Cara-cara tersebut tentunya harus lebih efektif. Beberapa cara lain misalnya mengadakan open house yang diisi dengan lomba-lomba antar sekolah, bazaar, serta tampilan hasil kreasi siswa.
Jika cara tersebut dinilai memerlukan biaya yang besar sekolah dapat menggunakan model yang berbasis IT, contohnya dengan memanfaatkan layanan internet kita dapat membuat website, blog, bahkan akun jejaring sosial sekolah. Melalui cara tersebut kita dapat dengan mudah menginformasikan kepada masyarakat seluruh kegiatan dan program yang dimiliki sekolah.
Semua cara tersebut bertujuan untuk mempermudah orang tua dalam memperoleh informasi yang mereka butuhkan. Namun publikasi yang dilakukan tentunya harus berdasarkan realita yang ada. Untuk menuju sekolah yang memiliki kegiatan pembelajaran yang bagus, sarana dan prasarana memadahi memang membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Namun jika sekolah mampu mengoptimalkan perannya dengan membangun kerja sama dengan pihak lain, maka biaya pendidikan yang terjangkau dan memiliki kualitas sekolah yang bagus bukanlah impian belaka.