Kamis, 22 Oktober 2015

Refleksi Semarak Kemerdekaan

Memasuki bulan Agustus kita melihat sepanjang jalan gang-gang kampung meriah dihias dengan bendera dan kerlap-kerlip lampu beraneka warna. Tidak ketinggalan gapura akses masuk gang juga nampak cantik hasil paduan cat dan tulisan semangat kemerdekaan.
Tidak tanggung-tanggung, sebagian warga memanfaatkan waktu dengan baik disela-sela kesibukannya. Tidak jarang kita melihat ada yang menghias gang ketika malam hari, ada juga yang melakukan kerja bakti membersihkan lingkungan ketika hari Minggu. Bahkan ada juga yang sore hari menyempatkan keliling dari rumah ke rumah menggalang dana untuk kegiatan Agustusan.
Bulan Agustus memang menjadi bulan yang spesial untuk bangsa kita. Tidak hanya tampilan fisik gang-gang kampung yang berubah, para pemuda Karang Taruna juga telah mempersiapkan sederet acara untuk tambah menyemarakkan bulan Agustus ini dengan berbagai lomba, termasuk mengadakan doa bersama pada malam 17 Agustus.
Apa yang dapat kita maknai dari seluruh hingar-bingar menjelang peringatan hari kemerdekaan ini? Sebagai seorang warga negara Indonesia, khususnya sebagai warga Jawa Tengah yang kental dengan karakter guyub rukun. Hal di atas menandakan bahwa semangat cinta tanah air jelas masih terdapat dalam masyarakat kita. Rasa cinta tanah air yang selanjutnya dapat menggerakkan rasa kebersamaan dan gotong royong.
Di tengah ramainya bursa pemilihan kepala daerah, reshuffle kabinet serta keadaan perekonomian yang semakin tidak menentu, harapan-harapan untuk menuju perubahan yang lebih baik tentunya masih ada. Untuk para pemimpin bangsa yang memiliki kewenangan dalam berbagai bidang, mari kita resapi bagaimana mereka para warga yang berada jauh di bawah garis pengelolaan pemerintahan betapa mereka masih menyimpan optimisme suatu saat nanti negera kita ini akan mampu keluar diposisi yang sulit seperti saat ini.
Bersatu
Beberapa waktu kedepan Jawa Tengah akan memasuki masa sibuk memilih para calon pemimpin daerah. Saat ini atmosfer pemilihan kepala daerah dapat dengan mudah kita jumpai disudut-sudut kota bahkan hingga disudut media sosial. Mereka yang maju menjadi calon pemimpin merupakan salah satu putra putri terbaik yang dimiliki daerah. Semoga ketika nanti sudah mendekati hari H, tidak kita jumpai kampanye hitam yang saling menjatuhkan seperti saat pemilihan presiden waktu lalu.
Sebuah fakta yang sulit untuk dibantah adalah, tujuan mencalonkan diri dalam bursa pemilihan kepala daerah tentunya untuk berperan secara langsung dalam mengembangkan tata kelola dan potensi daerah. Hal itu nampak pada visi dan misi para calon. Saya meyakini ini sebagai tujuan yang sungguh mulia. Begitu mulianya tujuan tersebut tentu tidak dengan mudah digadaikan dengan kepentingan pribadi atau kepentingan kelompok.
Saya juga meyakini setiap calon memiliki pandangan masing-masing tentang bagaimana memajukan daerahnya menjadi daerah yang unggul dan mampu berdikari. Masyarakat yang kemudian akan menilai seberapa efektif cara-cara yang akan ditempuh oleh para calon pemimpin daerah. Jika keyakinan saya memang benar maka nanti bagi pihak yang mendapatkan juara kedua dan seterusnya dalam pemilihan kepala daerah, masih tetap akan memajukan daerahnya melalui lahan yang berbeda. Lahan yang tersedia bukan hanya sebatas harus menjadi kepala daerah saja bukan?
Serangkaian aturan main untuk menjaga kompetisi berjalan fair tetap harus selalu diupayakan. Namun serangkaian aturan main tersebut tentunya menjadi rambu-rambu pembatas, yang terpenting adalah bagaimana para calon mau untuk mematuhi dan membuktikan bahwa mereka adalah putra putri daerah yang layak menjadi contoh sebelum nanti benar-benar memiliki posisi pemimpin daerah.
Dari para warga yang bergotong-royong menyemarakkan kampungnya saat moment Agustusan, kita dapat mengambil pelajaran bahwa siapapun kita dan siapapun orang-orang yang ada di sekeliling, kita memiliki tujuan yang sama. Tujuan untuk membawa perubahan demi kepentingan bersama. Para calon pemimpin daerah yang nantinya akan terpilih, kelak ketika menjalankan tugas ingatlah para warga yang berada di bawah kepemimpinan Anda. Mereka tidak menginginkan kelak Anda berseteru dengan jajaran yang Anda miliki, mereka menginginkan Anda dapat bersatu, menghilangkan kepentingan lain selain kepentingan daerah.
            Fakta sejarah menunjukkan para pemimpin di era kemerdekaan mampu mencontohkan dengan sempurna bagaimana mereka bersatu untuk kepentingan bangsa. Sampai saat ini kita masih mengharapkan sosok pemimpin dan iklim politik seperti itu lahir kembali. Melalui moment peringatan hari kemerdekaan Indonesia yang ke-70 ini semoga semangat para pemimpin yang terdahulu tetap mengalir didarah anak bangsa. Dirgahayu Republik Indonesia ke-70. Ayo kerja berbakti pada negeri sesuai posisi kita masing-masing.

Minggu, 30 Agustus 2015

Menanti Kemenangan Dunia Pendidikan


            Ujian masuk bagi calon mahasiswa baru yang mengambil jurusan kependidikan diharapkan ada tambahan tes. Hal tersebut diungkapkan oleh ketua Majelis Rektor Perguruan Tinggi Negeri Indonesia (MRPTNI) Herry Suhardiyanto seperti yang diberitakan harian Pikiran Rakyat (21/7/15). Selain tes tertulis seperti ujian masuk pada umumnya, tambahan tes tersebut terkait dengan tes kepribadian serta tes bakat dan minat.
Menjadi seorang pendidik rasa-rasanya berbeda dengan beberapa profesi lainnya yang boleh dikatakan menghadapi benda mati. Siswa satu dengan yang lainnya memiliki kemampuan dan kebutuhan belajar yang berbeda. Dalam situasi yang seperti ini guru dituntut dapat memainkan perannya secara optimal. Bukan hanya pandai dalam penguasaan materi pembelajaran, namun juga pandai dalam memperlakukan siswa sebagai pribadi yang hidup dan menghargai hak-haknya secara utuh.
Itulah mengapa dalam perkuliahan mahasiswa jurusan kependidikan diberikan pengetahuan pedagogi. Pertanyaan selanjutnya adalah, jika setiap mahasiswa jurusan kependidikan telah menempuh serangkaian mata kuliah tentang pengetahuan pedagogi masih perlukah diberlakukan tes tambahan pada saat seleksi masuk perguruan tinggi?
Fenomena yang terjadi saat ini menunjukkan bahwa dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir jurusan kependidikan masih menjadi primadona meskipun kuota yang disediakan oleh kampus jumlahnya terbatas. Kita tidak menutup mata hal semacam ini memiliki keterkaitan dengan adanya peningkatan perhatian pemerintah terhadap profesi guru. Sehingga banyak orang tua yang berharap anaknya menjadi guru. Berdasarkan fenomena tersebut beberapa kampus yang sebelumnya belum memiliki jurusan kependidikan juga berupaya untuk menangkap peluang dengan membuka jurusan kependidikan.
Sebenarnya yang dikhawatirkan adalah apabila mereka calon mahasiswa yang mendaftar jurusan kependidikan didasari motivasi lain bukan atas bakat. Kita harus tahu bahwa syarat utama seseorang menjadi ahli dalam bidangnya adalah karena memiliki kemampuan yang didukung dengan motivasi mengembangkan diri. Hal ini akan sangat mengkhawatirkan apabila sosok guru yang seharusnya sempurna memiliki empat kompetensi, hanya berharap mengejar popularitas profesi.
Efek selanjutnya dari membludaknya para pendaftar ini adalah mereka akan memilih kampus mana saja dengan mengesampingkan kualitas asalkan masih mendaftar pada jurusan kependidikan. Kualitas kampus penyelenggara dan segala perizinan pembukaan jurusan baru tentunya telah diatur oleh Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi. Hanya saja perlu mendapatkan perhatian yang serius karena mungkin jangka panjangnya akan ditemukan kampus dengan kualitas pelayanan pembelajaran di bawah standar demi mengejar peluang yang ada. Kasus semacam ini juga sudah mulai terkuak setelah Menristekdikti M. Nasir mengadakan sidak. Jika sudah demikian, proses pembentukan calon guru perlu dipertanyakan.
Peningkatan Mutu
Seperti yang kita ketahui, pemerintah selama ini telah menjalankan berbagai macam skenario yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Sebut saja dari UKG, selanjutnya segi pelatihan guru kita mengenal PLPG, ada juga skenario mendongkrak kualitas melalui sertifikasi pendidik. Bahkan hingga mengutak-atik kurikulum yang katanya kurikulum sebelum-sebelumnya terlalu memberatkan guru dengan berbagai macam tugas administratif, sehingga kurikulum 2013 didesain memiliki buku induk agar guru lebih mudah berkonsentrasi dalam pembaruan metode mengajar.
Seperti yang kita ketahui pula, deretan skenario di atas hingga saat ini belum sepenuhnya mampu memecah permasalahan. Alasannya pun bermacam-macam, mulai dari alasan SDM hingga pada alasan penentuan kebijakan yang kurang matang. Pemberlakuan tes tambahan bagi calon mahasiswa jurusan kependidikan tentunya juga merupakan salah satu skenario peningkatan kualitas pendidik yang dilakukan dalam fase pre-becoming teacher. Semua ilmu pengetahuan dapat dipelajari, termasuk ilmu bagaimana menjadi guru. Hanya saja upaya penyerapan ilmu yang dilakukan oleh para mahasiswa calon guru dirasa akan lebih sempurna apabila ditambah dengan adanya bakat dan minat yang tinggi untuk menjadi seorang pendidik.
Tes tertulis yang selama ini dijalankan bukan berarti tidak layak untuk dilakukan. Tes tersebut berguna untuk mengetahui apakah calon mahasiswa memiliki pengetahuan dasar terkait jurusan yang akan diambil. Karena peran pendidik begitu kompleks, maka sudah sewajarnya jika ujian masuk tidak hanya didasari oleh seberapa besar pengetahuan dasar yang dimiliki calon mahasiswa. Ada yang menyebut profesi guru adalah panggilan hati nurani, mereka yang mengajar dengan hati akan benar-benar terasa perbedaannya dalam membimbing setiap siswa. Karakter semacam inilah yang ingin kita bentuk dari mahasiswa calon guru.
Saat ini rangkaian ujian seleksi masuk perguruan tinggi negeri telah dilaksanakan, diantaranya yaitu SNMPTN dan SBMPTN. Tersisa satu jalur yaitu UM. Sedangkan untuk perguruan tinggi swasta masih terbuka beberapa seleksi hingga mendekati awal perkuliahan nanti. Harapannya para calon mahasiswa dalam mendaftar mereka secara sadar sesuai dengan apa yang mereka cita-citakan dan sesuai bakat yang mereka miliki. Sehingga melalui jenjang perguruan tinggi ini muncul generasi penerus yang berkarakter kuat dari segi keilmuan maupun sikap. Demikian halnya dengan mahasiswa calon guru.
Menjadi seorang pendidik, lebih dari hanya sekedar mengajar. Mendapatkan seorang pendidik yang seutuhnya pendidik bukan sesuatu yang mustahil, asalkan kita tahu bagaimana caranya. Dunia pendidikan kita rasanya telah lama membeku, menantikan sentuhan insan yang berhati pendidik. Maka bukan hal yang berlebihan jika kepada para dosen LPTK kita juga berharap manuver dalam meramu calon pendidik ini, sehingga akan lahir pendidik yang utuh dan sempurna yang selanjutnya akan kita serahi tanggung jawab meramu generasi penerus bangsa.

Kegiatan belajar mengajar tahun ajaran baru akan segera dimulai, melalui moment hari kemenangan nan fitri semoga tergerak hati kita untuk juga menghadirkan kemenangan baru di ruang kelas dan pengelolaan sekolah.

MB3P - Mereka Butuh Bantuan Bukan Pertanyaan


            Membaca esai dari Mbak Jati yang dimuat pada edisi pekan lalu cukup menggelitik. Esai yang menceritakan tentang menyambut si Leb (baca: lebaran) pada bagian ending-nya seakan mencerminkan kekhawatiran beberapa orang kala acara kumpul-kumpul keluarga. Apalagi kalau bukan pertanyaan menohok nan mematikan: kapan nikah? Kekuatan tohok-an kalimat tersebut amatlah sakti, mendengar pertanyaan semacam itu rasa-rasanya seperti terdakwa yang sedang menjalani persidangan. Belum lagi kalau pertanyaan semacam itu bukan satu atau dua saudara yang bertanya, pastilah rasanya seperti ditanya alasan memilih judul penelitian saat sidang skripsi oleh tiga dosen sekaligus dan parahnya apapun jawaban kita selalu saja salah dihadapan mereka.
            Kalau boleh merunut jauh ke belakang, pertanyaan semacam ini mungkin juga pernah dialami oleh orang tua kita tapi barangkali dengan dosis yang masih wajar sesuai zaman kala itu. Namun entah mengapa pertanyaan semacam itu terasa menusuk hati dan merobek telinga pada lebaran kali ini. Bisa saja lebaran tahun lalu kita masih belum cukup umur, masih lari-larian dengan saudara yang lain dan masih layak menerima angpau lebaran sehingga oleh para tetua (baca: saudara yang sudah dan setengah tua) masih dinilai belum berkepentingan dengan urusan nikah-nikahan. Namun semua berubah ketika negara api menyerang, lebaran tahun ini ternyata umur sudah berlebihan sehingga cukup membuat mereka para tetua ikut risau.
Ada satu alasan yang patut diperhitungkan mengapa pada zaman ini pertanyaan keramat tersebut gregetnya terasa sampai kehati yang paling dalam. Media sosial. Yap ... saat ini kita hidup di zaman serba digital dan gadget. Siapa yang saat ini tidak memiliki media sosial? Melalui media sosial sebangsa Facebook, Path, Instagram dan sejenisnya orang dengan bebas memosting apa yang mereka kehendaki. Termasuk memosting meme seputar pertanyaan kapan nikah yang banyak bertebaran di jagad dumay.
            Alih-alih biasanya hanya ketemu pertanyaan semacam itu pas acara halal bihalal keluarga, eh gak taunya tiap buka beranda ada aja yang mosting begituan. Gencarnya perkembangan teknologi informasi itulah mengapa pertanyaan kapan nikah menjadi momok luar biasa yang menduduki peringkat kedua setelah PR matematika.
            Ada berbagai situasi dan kondisi mengapa seseorang merasa tidak nyaman ketika ditanya kapan nikah:
1.      Belum memiliki pasangan.
Saya lebih suka menyebut mereka sebagai orang yang single dari pada jomblo. Buat saya sebutan jomblo mengesankan stereotip seseorang yang tidak laku karena memiliki suatu kekurangan. Sebutan yang tidak manusiawi. Toh kita belum tentu lebih baik dari pada mereka yang single. Justru yang single lebih produktif berkarya di saat kita yang memiliki pacar sibuk berfoya-foya.
2.      Belum bekerja.
Bisa aja lho dia tertekan menanggapi pertanyaan nikah karena dia belum bekerja. Dia sudah memiliki pasangan, tetapi sayangnya dia masih belum mendapatkan pekerjaan. Menikah menandakan sebagai pribadi yang sudah dewasa dan mandiri. Ketika sudah menikah kita tidak bisa lagi dikit-dikit merengek kepada orang tua, termasuk dalam urusan ekonomi keluarga. Dia kelak ingin menikah dalam situasi yang lumayan sempurna, sehingga bisa berdikari. Kita harus bisa menghargai keinginan yang luhur itu.
3.      Belum memiliki modal yang cukup.
Pasangan ada, kerjaan juga ada, terus nunggu apa lagi? Mungkin saja mereka masih dalam tahap mengumpulkan modal nikah. Kalau jaman dulu nikahan sih bisa berjalan cukup dengan niatan suci kedua mempelai, tapi semenjak acara pernikahan Raffi Ahmad dan Nagita Slafina ditayangkan live di televisi, sekejap standart acara nikah bagi para calon mertua meningkat tajam.

            Tuh kan ... banyak yang jadi alasan. Intinya sih kalau seseorang ditanya kapan nikah dan dia tak kuasa menghadapi pertanyaan itu, berarti ada sesuatu yang tidak beres. Nah salah satu ketidak beresan itu mungkin ada diantara alasan di atas. Kalau boleh ngasih masukan kepada para tetua dan siapapun yang mau sok-sokan bertanya kapan nikah, tolong tanyalah dengan manusiawi dan jangan frontal membabi buta.
            Mengapa saya katakan sok-sokan bertanya? Lihatlah, setelah pertanyaan kapan nikah meluncur dan terdakwa tidak mampu menjawab dengan tepat, maka ekspresi si penanya selalu terheran-heran seakan tidak puas. Untuk Anda saudara yang lebih senior dan sudah menikah, justru seharusnya Anda itu yang lebih tahu bagaimana repotnya menyiapkan sebuah pernikahan. Bukan hanya repot persiapan catering, dekorasi dan lain sebagainya tapi juga repot menyiapkan hati.
            Katanya kita ini keluarga ... tapi kok malah tidak saling dukung? Kalau ada saudara yang belum menikah, coba diselami apa alasannya dan bantulah mencari jalan keluar rame-rame sekeluarga. Kalau memang belum memiliki pasangan, coba dibantu menemukan. Kalau belum bekerja, coba mungkin ada yang punya info kerjaan. Kalau ada yang belum cukup modalnya, mungkin ada yang punya saran-saran. Percayalah hal yang demikian itu jauh lebih bagus ketimbang sekedar bertanya yang diakhiri dengan nada sinis, malah nambah-nambahi beban pikiran. Itu sama saja kita menggerutu kenapa Indonesia penuh dengan korupsi, tapi kita sendiri tidak punya jalan keluar untuk membantu membersihkan bangsa dari korupsi.
            Persiapan pernikahan itu bukan hanya untuk satu hari itu saja, tetapi juga untuk hari-hari selanjutnya bahkan seumur hidup. Saya kok percaya, urusan kapan meminang dan kapan menimang ini telah digariskan oleh yang Maha Kuasa.
            Buat para tetua ... selain pertanyaan kapan nikah, ada lho pertanyaan lain yang juga semestinya dipertanyakan. Misalnya saja mengapa adek-adek yang masih bau ompol itu kalau halal bihalal lebih suka megang gadget ketimbang megang hati saudara. Dulu saya seumuran itu kalau ada kumpul-kumpul keluarga pasti lari-larian, kejar-kejaran, main petak umpet, pokoknya tiap mau pamitan pas acara sudah selesai baju koko ini basah penuh keringat. Ah mungkin COC dan pow lebih kekinian.

Masa Salah Orientasi


            Sepekan lalu kegiatan MOS (Masa Orientasi Siswa) yang kini sebutan itu sudah dirubah menjadi MOPD (Masa Orientasi Peserta Didik) telah sukses digelar diberbagai sekolah. MOS saat ini memang sudah tidak sesangar zaman dulu ketika banyak penugasan ekstrim yang memusingkan kepala dan menuntut ketahanan fisik yang super tinggi. MOS saat ini benar-benar diarahkan oleh para pejabat dunia pendidikan agar lebih humanis. Tentunya hal ini dikarenakan banyak ditemui korban berjatuhan dengan alasan mengikuti MOS yang terlewat ekstrim.
            Saya katakan MOS sekarang tidak sesangar dulu karena memang begitulah adanya terlihat untuk saat ini. Namun jika dikatakan MOS saat ini lebih humanis, saya kok masih tidak ikhlas bahkan cenderung masih berat hati untuk menyebut seperti itu. Kenapa? Ya ... coba saja tengok pelaksanaan MOS, pasti masih ada saja siswa baru yang mengenakan atribut tidak jelas juntrungannya. Rambut siswa perempuan masih ada yang harus diikat dengan pita warna-warni, topi dari kertas berbentuk kerucut atau segi lima seperti topi wisuda, papan nama dari kertas yang ukurannya sangat tidak proporsional misalnya 25x30 cm, lalu tas yang terbuat dari karung plastik (sak).
            Walaupun bentak-membentak dan perploncoan fisik kadarnya sudah berkurang, tetapi saya gagal paham dengan penugasan pengenaan atribut yang sedemikian rupa. Jika kemudian alasan yang digunakan sebagai jawaban adalah untuk melatih siswa baru berkreasi, taat pada peraturan dan tidak cengeng (artinya yakin dia mampu menemukan barang-barang yang ditugaskan walaupun barangnya susah didapat) saya rasa kok ya alasan tersebut terlalu dibuat-buat. Justru malah terlihat seakan-akan ada unsur ingin mengerjai para junior ini.
            Jika memang benar maksud yang ingin dituju seperti alasan di atas dan supaya terhindar jauh dari dugaan mengerjai, setidaknya buatlah penugasan yang wajar. Semua penugasan yang saya sebut di atas saya rasa korelasinya dengan berkreasi, menaati peraturan dan tidak cengeng sungguh amat kecil sekali dengan tujuan yang ingin dicapai. Perlu kita ketahui bahwa yang namanya perploncoan itu tidak hanya sebatas fisik saja, tetapi juga ada lho yang namanya perploncoan psikis.
            Sungguh Dek, Abang merasa sedih melihat kalian memasuki gerbang itu dipagi hari dengan sekujur tubuh penuh dengan benda-benda aneh. Kalian harusnya melewati gerbang itu dengan perasaan bangga dan senyum diwajah karena telah berhasil memperjuangkan keinginan kalian untuk memasuki sekolah itu. Bukannya malah menjadi bahan lelucon bagi siapa saja yang melihat.
            Saya di sini tidak perlu menjabarkan bagaimana ramuan kegiatan yang bernilai positif untuk mengisi MOS, karena Ibu/Bapak guru telah mampu meramu kegiatan itu dengan baik. Misalnya saja saat ini sudah diisi materi tentang bagaimana cara belajar yang efektif, materi pengembangan diri melalui ekskul yang dimiliki sekolah, hingga pada pengenalan seluk beluk yang berkaitan dengan sekolah tersebut.
            Ya, seperti itulah seharusnya masa orientasi. Karena makna orientasi jika dilihat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah peninjauan untuk menentukan sikap. Jadi boleh saya katakan MOS adalah saat dimana siswa baru dibimbing mengenal segala sesuatu tentang kegiatan belajar di sekolah atau jenjang tersebut agar mereka dapat memahami dan selanjutnya beradaptasi dengan baik.
            Hanya saja yang perlu saya pesankan untuk Ibu/Bapak guru, mohon sudilah kiranya memantau kakak-kakak seniornya yang menjadi panitia. Bukan bermaksud su’udzan, tetapi mungkin karena usia kakak panitia yang juga masih belia jadi terkadang mereka belum mampu memaknai MOS ini dengan utuh seperti apa yang dilakukan Ibu/Bapak guru. Saya tidak menyebut ini terselip niatan mengerjai, tetapi tidak menutup kemungkinan kakak panitia salah meng-convert nilai karakter positif seperti taat peraturan, disiplin dan lain-lain menjadi penugasan atribut aneh seperti yang saya sebutkan di awal.
            Mengutip dari ucapan Ir. Soekarno presiden pertama RI “Beri aku sepuluh pemuda, maka akan ku guncang dunia.” Dan sekarang dihadapan njenengan kakak panitia, sudah ada ratusan generasi muda. Ini kesempatan panjenengan untuk mengguncang dunia, dengan guncangan yang baik tentunya. Jangan dilupakan pula ada nilai pendidikan karakter cinta sesama teman, antara kakak kelas dan adik kelas. Percayalah yang demikian itu terlihat lebih harmonis ketimbang jengkel-jengkelan menyisakan dendam yang akan diluapkan besok ketika dapat giliran jadi panitia.
            Pendidikan itu idealnya dilakukan tanpa ada rasa tertekan, begitulah yang disebut dengan pendidikan yang humanis. Dan rasa-rasanya tidak pantas lah ... aset bangsa diperlakukan sekonyol itu.