Kamis, 24 November 2016

Tugas Filsafat Ilmu Ekonomi


Assalamualaikum Warohmatullahi Wabarokatuh ...

Kawan-kawan mahasiswa yang saya banggakan, untuk pendalaman perkuliahan FIE maka saya memiliki sebuah desain penugasan mandiri untuk Anda.

            Berikut ini adalah tugas yang harus Anda diskusikan:

1.      Teori mazhab klasik memiliki awal mula dari pemikiran yang mengatakan bahwa kebutuhan manusia akan terpenuhi dengan cara yang paling baik bilamana sumber-sumber daya produksi digunakan secara efisien dan yang tidak kalah pentingnya adalah hasil produksi dijual melalui persaingan yang bebas. Dari pernyataan di atas, coba Anda renungkan kemudian berikan contoh riil yang dapat Anda amati terjadi di Indonesia!

2.      Landasan ekonomi klasik bertumpu pada kepentingan pribadi dengan kemerdekaan alamiah sehingga setiap orang tahu apa yang perlu dan apa yang menguntungkan bagi dirinya. Ternyata era ekonomi klasik ini juga menjadi tata susunan ekonomi kapitalis. Renungkan pernyataan di atas, kemudian sesuai dengan pengamatan dan pengalaman Anda paparkan sejauh mana ekonomi kapitalis menguasai Indonesia saat ini!

3.      J.S. Mill seorang Utilitarian pada tahun 1984 menulis buku Principles of Political Economy yang berupaya memahami masalah ekonomi sebagai suatu masalah sosial (masalah tentang bagaimana manusia hidup dan ikut ambil bagian dalam kemakmuran bangsanya, baik dalam proses produksi, perlindungan terhadap produk dalam negeri dan persaingan antar produk, maupun masalah distribusi melalui instrument uang dan kredit). Permasalahan apa saja yang Anda tangkap terjadi di Indonesia terkait:
a)      Daya dukung masyarakat terhadap kemakmuran bangsa.
b)      Perlindungan terhadap produk dalam negeri.

4.      Pendapat J.S. Mill  juga selaras dengan pernyataan dalam On Liberty dan Utilitarianism bahwa setiap tindakan manusia akan dinilai etis jika tindakan tersebut tunduk pada prinsip kegunaan dalam mengupayakan kebahagiaan. Anda sebagai mahasiswa yang telah belajar Filsafat Ilmu Ekonomi, bagaimana Anda memandang konsumerisme dikalangan mahasiswa dan bagaimana solusi yang Anda anggap tepat untuk mengatasi hal tersebut?
____________
Ketentuan pengerjaan:
1.      Tugas ini bersifat individu, namun dalam proses pengerjaannya Anda disarankan untuk berdiskusi.
2.      Jawaban, statement atau argumen yang Anda berikan akan lebih bagus jika bernilai empiris (karena itulah salah satu ciri filsafat), sehingga saya sangat mendorong Anda untuk memaparkan data dan fakta untuk mendukung setiap argumen yang Anda kemukakan.
3.      Untuk batas waktu pengumpulan adalah hari ini (24 November 2016), dengan ketentuan diserahkan kepada PJ: 3A (maksimal 12.00), 3B (maksimal 13.00), 3C dan 3D (maksimal 16.00). Selanjutnya PJ mengumpulkan ke ruang dosen lantai 3, taruh di pojok utara bawah AC.
4.      Pengumpulan tugas ini sekaligus saya anggap sebagai bukti kehadiran.
5.      Jawaban di tulis tangan pada kertas folio. Oleh karena itu jawaban jangan panjang bertele-tele namun tanpa makna, belajarlah membuat argumentasi yang padat namun tepat!
6.      Jangan merasa terbebani, selamat mengerjakan, selamat berkreasi, semoga Tuhan memberikan limpahan ilmu yang bermanfaat bagi kita semua.


Wassalamualaikum Warohmatullahi Wabarokatuh.

Rabu, 22 Juni 2016

Membaca Realita


            Tepat lima belas menit sebelum jam kantor usai, telepon genggam ku berdering. “Mas nanti pulang kerja jangan telat ya. Janjinya kita hari ini mau nonton.” Suara diujung telepon mengingatkan sebuah janji yang telah ku ikrarkan kepada Tia.
            “Iya sayang, ini sebentar lagi selesai. Paling cuma meeting singkat.” Jawabanku rasa-rasanya bukan jawaban yang tepat sampai Tia terdengar menggerutu. Kita bukan lagi ABG kemarin sore yang baru memadu kisah kasih cinta monyet. Tapi begitulah Tia, dengan segala kemanjaannya dia selalu berhasil membuat aku bertekuk lutut dan mengabulkan segala permintaannya. Apalagi menolak permintaan istri yang sedang hamil, pamali. Kata orang bayinya nanti ngileran.
            “Bro kerjaaan ku sudah beres. Aku pulang duluan.”
            “Eh eh ... buru-buru banget, masih juga jam segini.”
            “Biasa Bos...... Rio mau nge-date ­tuh sama istrinya ...” Ocehan Kepala bagian dan Ratna sama sekali tidak aku tanggapi serius. Aku terus menggerakkan tangganku menata tumpukan berkas yang sedari pagi bagaikankan menara Pisa aku tata sedemikian rupa hingga menyerupai gedung hotel Ciputra dan Horison yang bersebelahan. Kokoh, simetris dan menjulang ke atas.
            “Tia ngajak nonton Bos.” Sedikit komentar ku kepada mereka berdua dengan senyum tipis.
            “Ceile .... sempet-sempetnya ya kalian. Masih kayak anak kuliahan aja. Nonton apaan? Rangga sama Cinta?”
            “Ho’o Bos.” Sekali lagi jawaban ku membuat seisi ruangan jadi ramai. Mereka gaduh, ada yang menepuk meja, ada yang mengeluarkan kata ciyee..., sampai ada yang siul-siul tak jelas maksudnya. Entahlah siapa yang sebetulnya mirip anak kuliahan.
            Di tengah keriuhan yang dilakukan seluruh teman kantor, suara Riana memecah olok-olokan mereka. “Lah ngantre tiketnya berapa lama? Rangga – Cinta mah lagi hits banget, semua ABG labil pada rebutan tiket.”
            Big thanks buat Riana yang sukses nambahin keriuhan kantor dengan menyejajarkan aku pria yang sudah berkepala tiga dengan mereka para ABG yang suka selfie di deretan antrean loket bioskop lalu diunggah di Path supaya kekinian katanya.
            Sebelum waktu ku semakin habis menanggapi orang-orang kantor yang seakan tidak kangen dengan rumah mereka, aku bergegas menuju parkiran dan memacu kendaraan secepat mungkin, berharap kemacetan jam pulang kerja belum seberapa mengular.
Rasa cinta yang membuncah di dalam dada, apalagi cinta masa muda yang penuh dengan gelora, memang memberikan sensasi kenangan tersendiri. Aku masih ingat bagaimana dulu saat masih remaja, aku begitu mendambakan Tia untuk menjadi pendamping hidup. Tak peduli secuek apapun dia dalam menanggapi semua usaha ku, aku tetap memburunya. Aku pun tak tahu itu memang benar penilaian ku Tia bersifat cuek, atau aku yang sama sekali tak memiliki kekuatan hingga usahaku begitu kecil dan sama sekali tak nampak di hadapannya. Tapi toh akhirnya semesta berpihak kepada ku.
Pernah suatu ketika aku ditegur oleh Ayahnya karena pulang agak larut setelah menghabiskan malam Minggu. Tia sedikit membelaku dengan pernyataannya yang dia ucapkan kepada Ayahnya. Dia mengatakan kalau acara pagelaran ketoprak di Taman Budaya Raden Saleh mengalami pergeseran jadwal sehingga acara ketoprak pun selesai agak mundur waktunya. Padahal acara dimulai tepat pukul 19.00 hingga durasi dua jam penampilan.
            Aku ingat betul bagaimana syahdunya malam itu, ketika kita selesai menyaksikan pagelaran ketoprak dan aku melihat Tia saat itu nampak dia masih mengharapkan kebersamaan kita bisa bertambah sebentar lagi. Walaupun masih melekat erat di memorinya ucapan Ibu sore tadi yang berpesan jangan pulang lebih dari jam 21.00. Pesan yang terucap dari seorang Ibu yang khawatir kepada anak gadisnya, tepat sebelum kami meninggalkan gerbang rumah.
            Aku pun sama, masih mengingat jelas kata-kata Ibunya. Tapi entah setan apa yang merasuki pikiranku, dengan gugup aku mengajaknya mampir menikmati wedang ronde di pinggiran jalan Pahlawan malam itu. Diantara deretan abang tukang ronde, kita pilih satu yang tak terlalu ramai. Malam itu hanya aku, Tia dan sepasang mangkuk berisikan wedang ronde milik kita.
Lalu lalang kendaraan dan pengamen jalanan yang mencoba mengais rejeki menjadi intermezo bagi kita. Obrolan demi obrolan serasa tak sebanding dengan jumlah belahan kacang dan butiran ronde yang ada di mangkuk kami. Oleh sebab itu kami berusaha menyeimbangkannya dengan cara satu sendokan berisi satu belahan kacang atau satu butir ronde setara dengan 5 menit obrolan. Hal yang tidak lazim, tetapi lampu-lampu penerangan jalan berkata itu hal yang wajar dan supaya aku lebih percaya mereka merunduk berbisik kepada ku, lalu sekali lagi berkata orang lain juga melakukan hal itu termasuk sepasang kekasih yang duduk di ujung jalan sana.
            Persekongkolan antara setan dan lampu penerangan jalan sangat sukses. Mereka mampu membaca sebuah kenyataan kalau kita juga sebenarnya tidak ingin suasana ini cepat berakhir.
            Segala macam cerita dan berjuta kenangan masih rapi tersimpan di sini, di hati. Apa pun yang dulu kita lalui, saat ini sudah menjadi cerita bersama karena aku dan Tia saat ini sudah seatap.
            Rencana nonton bareng dengan Tia akhirnya terwujud juga. Selain karena aku pulang kantor agak awal, juga karena kita milih jam nontonnya jam 21.00 jadi ya anak-anak bau kencur lumayan tereliminasi jam segitu. Kecuali ada persekongkolan antara setan dan sutradara film yang membisiki telinga mereka.
            “Sayang film ini bagus banget lho. Ada satu tempat di Magelang yang sebelumnya aku ingin ajak kamu ke sana tapi malah keduluan dipakai buat shooting film. Huhh...!!!”
            “Loh kenapa kita tidak asal ke sana sayang?” Jawab ku singkat tapi penuh tanda tanya.
            “Ah males, nanti dikira kayak ABG mburu lokasi shooting biar ngehits.” Jawabnya juga singkat dan mengundang tawa ku.
            Itulah Tia dengan segala kemampuannya untuk mengorek behind the scene-nya semua film yang bakal kita tonton. Termasuk film ini, yang sejak kemarin dikepoin sama dia. Obrolan kita perlahan berkurang seiring dengan meredupnya lampu bioskop hingga kita benar-benar terdiam saat suasana gelap total.
            Kita sama-sama terlarut dalam tiap adegan dan saling memandang ketika ada beberapa adegan yang rasa-rasanya demikianlah sepasang kekasih saat hatinya sudah terpaut dengan satu pilihan.
            Ketika film usai, teramat banyak hal yang kita bahas. Sampai-sampai kita tidak sadar suara kita begitu lantangnya hingga tiap orang yang kita lalui dari gedung bioskop hingga parkiran semuanya menoleh memperhatikan kita. Ya, begitulah kita. Walau pun terkadang obrolan kita malah seakan kita sedang membuat skenario film sendiri. Aneh dan sama sekali tidak nyambung dengan film yang telah kita tonton.
            “Mas, Rangga itu mirip kamu ya.”
            Disebut mirip Nicholas Saputra, aku cengar-cengir.
            “Rangga Mas, bukan Nicholas.” Tia paham maksud cengar-cengir ku.
            “Rangga itu suka nulis. Punya buku bacaan banyak. Kemana-mana otaknya suka merekam kejadian sekitar. Dia juga kalau ngomong kalimatnya puitis gitu.”
            Karena merasa karakter Rangga memang sedikit agak mirip, aku menanggapinya masih dengan cengar-cengir. “Namanya juga film sayang, kadang ada yang mirip dengan kehidupan kita.” Aku akhiri dengan berdehem, menambahkan kesan cool.
            “Tapi beneran deh, Rangga juga lagi nulis buku tapi gak kelar-kelar. Sama kayak Mas kan.”
            Mulutku terbuka bersiap mengeluarkan kata pertama untuk menanggapi, tapi belum sampai keluar kata itu  Tia sudah melanjutkan lagi.
            “Mas juga kalau lagi membuat kesalahan bisanya cuma bilang maaf berkali-kali. Mukanya bengong.”
            Aku mulai merasa tidak nyaman.
            “Dulu juga Mas pernahkan hampir memutuskan hubungan kita gara-gara Mas tidak yakin suatu saat nanti bisa sukses.”
            “Ya itu wajar sayang kalau semua lelaki berpikiran seperti itu, takut pacarnya hidup susah setelah dinikahi kelak. Takut ternyata kita bukan pasangan yang pas. Takut ternyata yang bisa membahagiakan kamu itu seharusnya orang lain.” Jawab ku setengah curhat.
            “Ya, persiskan Rangga.”
            Sejenak suasana berubah hening. Seakan Tia sedang marah tetapi bukan dalam kondisi marah yang seperti biasanya dengan emosi yang meledak-ledak dan raut wajah yang tegang. Suasananya aneh, Tia seakan marah tetapi marah secara halus. Benar-benar aneh, karena aku pun tak tahu marah secara halus itu yang bagaimana.
            Sayang yang kamu lakukan ke saya itu, jahat!!!
Aku ingin menjawab seperti itu. Namun rupanya itu hanya ku suarakan dalam hati. Yang terucap sebagai jawaban untuk Tia adalah “Iya, maaf sayang.”

***

Rabu, 06 Januari 2016

Fight Back

Setiap orang pasti bakal menemukan diri mereka balik ke dalam lubang hitam yang sama. Saya tak pernah mengerti ini memang benar sebagai siklus atau cenderung menjadi karakter kepribadian seseorang. Suatu saat kita merasa sedang di puncak dengan semangat yang menggebu. Tapi dengan hitungan hari, terkadang kita sudah berhadapan dengan tembok besar nan tinggi yang pernah menghalangi kita di masa silam.

Semua bakal baik saja asal kita tetep tahu kapan bisa ngelawan balik. Tapi pertanyaannya, kapan kita bisa dapetin feel itu. Yang jelas semua orang saya kira sadar 100% kalau takdir ditangan Tuhan. Tapi tyerkadang kita jadi ngerasa capek karena sudah berusaha sekuat mungkin tapi toh ternyata keadaan belum juga berubah.

Rasa syukur kadang menjadi penyemangat. Penyemangat. Serasa ini adalah jalan hidup yang harus dilalui. Tapi, memang begitulah seharusnya hidup. Penuh rasa syukur agar kita tidak merasa kekurangan. Ya ... setidaknya kekurangan itu tidak pernah terasa menjadi beban yang super berat. 

Setiap orang butuh menatap dan mengatur lagi rencana masa depannya.