“Mobil Dek, doain Bapak besok bisa
mbeliin adek yang kayak gitu ya. Mobil beneran”. Sebuah kalimat yang ku dengar
ketika suara Adzan Magrib baru saja berhenti dan diiringi dengan suara tanah tergerus
ban mobil yang berjalan. Saat itu aku selesai mandi dan mejemur cucian di
samping rumah. Terdengar langkah kaki seorang lelaki dan seorang balita yang
sedang digendongnya. Pagar setinggi dua meter itu menghalangi pandangan ku
sehingga aku tidak tahu pasti siapa yang sedang berjalan di samping rumah.
Tetapi mendengar suaranya aku yakin dia adalah tetangga ku yang rumahnya
selisih 4 rumah dari rumah ku.
Dari perkataan yang dilontarkan sang
Bapak, balita itu hanya menanggapi dengan suara rewel khas balita. Rizky, salah
satu hal yang terkadang kita bingung memikirkannya. Kata orang bijak, rizky itu
sudah ada yang mengatur. Kalau mau dirasa ya memang benar, Tuhan telah mengatur
semuanya. Termasuk rizky dari kita akan lahir sampai dengan akhir hayat kita.
Namun rupanya perkataan bijak itu tidak selalu manjur untuk menjadi obat
penenang disaat kita galau memikirkan rizky.
Sebagai seorang anak pasti kita
ingin untuk membahagiakan orang tua. Kata membahagiakan mungkin masih terdengar
abstrak. Jika boleh diperjelas mungkin kata membahagiakan dapat diarahkan
berupa seorang anak yang mampu memiliki pekerjaan yang mantap, sehingga secara
ekonomi mampu untuk memberikan penghidupan yang layak untuk calon keluarga
serta merawat kedua orang tua. Yap..... siapa pun sepakat kalau orang tua
tidaklah menginginkan harta benda sebagai balasan selama ini mereka merewat
kita. Bukan berarti mempersempit pandangan bahwa kebahagiaan itu adalah harta,
tetapi lebih kepada kita mampu menunjukkan keberhasilan dan kesuksesan hasil
dari jerih payah didikan orang tua.
Tapi bagaimana jika kita seorang
anak yang ya.... katakanlah sudah usia kerja tetapi sampai sekarang juga belum
kunjung mendapatkan pekerjaan. Atau.... seorang anak yang sudah bekerja tetapi
gaji yang diperoleh belum mampu untuk memberikan kebahagiaan yang kita anggap
sempurna untuk orang tua. Kedua hal ini akan membawa kita serasa jauh dari
angan-angan dan mimpi tentang kesuksesan. Seperti sebuah peluang yang menemui
jalan sempit dan terbakar dengan api keputus asaan hingga tercium aroma letih
dan kepasrahan menunggu episode selanjutnya.
Antara sadar dan tidak kita masih
memegang pesan seorang bijak yang mengatakan Tuhan telah mengatur semuanya.
Namun jika selamanya kita hanya ter-nina bobo-kan oleh perkataan itu, apa
jadinya? Mungkin yang tepat itu adalah menunggu Tuhan memberikan jalan Nya
diwaktu yang Dia kehendahi sembari kita mencoba dengan sebaik mungkin yang kita
bisa. Tanpa rasa ragu, rahasia itu milik Nya.
Tapi juga kenyataan tak semudah itu.
Lingkungan sekitar juga terkadang memberikan tekanan yang cukup membuat kita
ragu akan apa yang sedang kita jalani, atau bahkan ragu dengan apa yang sedang
kita tunggu. Bagaimana cara pandang tetangga, bagaimana para saudara yang siap
menertawakan saat kita tak berdaya (saudara macam apa itu? Tapi yap, itulah
realita, Anda pasti punya saudara semacam itu bukan?) atau mungkin calon mertua
yang mengharapkan idaman hati anaknya segera memiliki pekerjaan. Semua itu akan
dengan cepat menghantui dan merusak pemikiran-pemikiran yang sudah rapi Anda
susun terkait dengan apa yang Anda lakukan saat ini.
Tidak ada yang dapat memaksa Tuhan.
Tuhan maha kuasa dengan segala kehendak Nya. Siapa yang tahu memang jalan
awalnya seperti ini. Namun masa depan tetaplah menjadi rahasia, sifat rahasia
itulah yang membuat kita was-was akan seperti apa masa depan kita kelak. Segala
yang telah kita susun rapi, termasuk susunan ketenangan hati kita dalam
menjalankan “masa tunggu karunia Tuhan” akan dengan seketika lenyap saat kita
menghadapi semua bentuk tuntutan dari lingkungan sekitar. Kita pun akan
mempertanyakan apakah sebenarnya yang kita lakukan ini dalam menunggu adalah
sebuah pilihan yang tepat?
Kenapa kita dapat berpikiran ini
tepat atau tidak? Karena bagi mereka para “penonton” kita tidak melakukan
apa-apa. Bagi mereka kita hanya terlalu nyaman dalam berpegang teguh pada
pernyataan Tuhan telah mengatur semua. Hal ini wajar kerena yang mereka
inginkan adalah hasil, selama kita belum memiliki hasil, mereka akan
mempertanyakan terus!!!
Sebenarnya kita dapat mengabaikan
semua tuntutan mereka, tetapi jika itu adalah orang yang kita cintai misal
orang tua dan istri, apakah kita masih akan cukup memiliki akal sehat untuk
berpegang teguh terhadap pernyataan awal? Saya rasa ini adalah semacam ujian
sejauh mana kita percaya kepada Tuhan bahwa hidup kita telah dijamin oleh Nya.
Kesabaran, kedekatan kita dengan Tuhan akan membawa kita mampu melewati ini
semua. Tetapi melihat harapan orang tua tak kunjung datang memanglah sangat
menyakitkan. Sangat!!
Para ulama pernah berkata bahwa
Tuhan itu selalu menurunkan apa yang memang sudah dijanjikan untuk hamba Nya.
Permasalahnnya sekarang terkadang manusia memilih melakukan kesalahan kecil
yang menjadikan Tuhan merasa perlu untuk menunda pemberian Nya. Memperbaiki
diri menjadi jalan yang paling utama untuk instrospeksi.