Ketika
kita berbicara mengenai tawuran yang dilakukan oleh pelajar, sering kita katakan
bahwa hal ini dipengaruhi oleh sifat usia remaja yang labil dan mencari pengakuan
jati diri. Namun mari kita lihat lebih luas lagi, bagaimana jika tawuran
tersebut dilakukan oleh mahasiswa? Akankah kita masih menilai mahasiswa
termasuk dalam kategori usia yang labil? Lalu bagaimana jika tawuran itu
dilakukan oleh antar kampung?
Berawal
dari titik awal diatas, saya mempunyai pandangan bahwa tawuran merupakan peristiwa
yang bersifat kompleks. Akar permasalahannya tidak dapat hanya dilihat dari
satu sisi. Banyak yang beranggapan terjadinya tawuran terutama para pelajar
disebabkan pola manajemen pendidikan yang salah. Hal tersebut tidak sepenuhnya
benar dan bukan merupakan penyebab utama.
Tawuran
terjadi karena adanya kesalahan dalam pola pikir para generasi penerus.
Santrock (1996) menyebutkan proses kesalahan tersebut dapat terjadi dibeberapa
sisi yaitu kehidupan keluarga, teman sebaya, sekolah dan kebudayaan. Proses
kesalahan pola pikir generasi penerus saat ini yang cenderung mudah terpancing
emosinya merupakan proses perjalanan yang panjang. Tidak serta merta dalam
waktu yang singkat seseorang berubah menjadi agresif. Semua berawal dari
bagaimana ia diperlakukan dalam kehidupan keluarganya, bagaimana ia
diperlakukan dengan teman sepermainannya, lalu bagaimana iklim kompetisi di
sekolah dan terakhir seperti apa kebudayaan yang ia rasakan.
Proses
yang panjang tersebut akhirnya memberikan akumulasi tekanan atau bahkan
pembentukan pola pemikiran yang salah dalam diri generasi sekarang. Hal ini
akan diperparah lagi saat mereka bertemu dengan kelompok yang senasib. Jika
sudah seperti demikian maka cara penyelesaiannya juga tidak dapat dilakukan
dengan instant. Kita tidak dapat
mengharapkan suatu kebijakan akan dapat menghapus tawuran dalam waktu yang
singkat. Seperti awal mula permasalahan, maka tindakan penyelesaiannya juga merupakan
proses.
Proses tersebut harus dilaksanakan
oleh semua pihak yaitu keluarga, sekolah dan masyarakat. Kita harus membentuk
budaya melindungi generasi penerus supaya mereka tidak mempunyai cara pandang /
pola pikir yang menyimpang. Hal ini butuh kesadaran dan partisipasi dari ketiga
elemen tadi. Parsons (2005) memberikan laporan penelitian di Kanada dari tahun
1994-2003, hasil penelitian tersebut menunjukkan anak-anak yang dibesarkan
dengan harmonis cenderung tumbuh sebagai anak yang tidak terlibat dalam
tindakan kekerasan.
Daftar Pustaka:
Parsons, Les. 2005. Bullied Teacher Bullied Student.
Terjemahan Grace Worang. Jakarta: Grasindo
Santrock, John W. Adolescence Perkembangan Remaja. Terjemahan Shinto Adelar. Jakarta: Erlangga
Special
thanks to:
Bapak Nurul Khamdi, B. Eng. Bagus
Setiawan, S. Pd. Baharuddin, S. Pd. Teman-teman Manajemen Pendidikan ’12 UNNES.