Senin, 27 Mei 2013

Geliat Politik Uang


            Pemilihan umum kepala daerah (pemilukada) dilaksanakan setiap lima tahun sekali. Setiap itu pula akan selalu hadir semboyan no money politic. Banyak yang menyebutkan bahwa masyarakat kita sekarang adalah masyarakat yang cerdas, artinya terkait dengan pembelajaran berpolitik mereka telah memiliki pendirian yang kokoh dan tidak mudah dipengaruhi hanya dengan sejumlah uang.
            Pendapat tersebut ada benarnya. Namun saya rasa kita perlu lebih jeli dan teliti lagi dalam memahami hal tersebut. Pasalnya masyarakat kita mempunyai karakteristik yang heterogen baik itu dari segi pendidikan maupun ekonomi. Dari kedua faktor tersebut kemudian akan membentuk pola pikir yang berbeda antar satu masyarakat dan yang lainnya.
            Puncak ketegangan selalu hadir saat hari terakhir menjelang pemilihan. Kita tidak dapat menutup mata dan dengan bangga mengatakan bahwa pemilu kali ini atau pemilu sebelum-sebelumnya seratus persen bebas dari politik uang. Politik uang sampai sekarang masih dinilai sebagai senjata ampuh untuk mempengaruhi serta membujuk masyarakat khususnya masyarakat di daerah pelosok dan kalangan bawah. Kegiatan ini kalau boleh saya menyebutnya sebagai gerakan “bawah tanah” yang tidak tampak di permukaan namun di sisi lain kegiatan ini terus berjalan.
            Inilah yang saya katakan sebagai perbedaan karakteristik dalam masyarakat. Bagi masyarakat di perkotaan mungkin saja aroma money politic tidak sekental ketika kita berada di pedesaan. Bahkan rutinitas kotor ini melahirkan sebuah hal yang dianggap biasa dan oleh beberapa orang seakan menjadi hal yang dinantikan. Pemilukada merupakan waktu untuk  menunggu pembagian uang. Bahkan hal yang paling parah adalah tidak pergi ke tempat pemungutan suara (TPS) karena tidak adanya calon yang membagikan uang.
            Melihat hal ini saya memiliki dua sisi pandang. Pertama, calon yang melakukan praktik money politic adalah calon yang tidak siap untuk kalah. Siap untuk kalah? Kalimat tersebut seakan merupakan sebuah lelucon belaka, karena semua orang yang maju dalam pencalonan pasti mengharapkan dirinya menang. Faktanya kita hanya membutuhkan satu pasang calon saja sebagai pemimpin, itu berarti yang lain hanya akan mendapat gelar juara kedua dan seterusnya.
            Kedua, niat pencalonan diri belum sepenuhnya mengarah kepada kepentingan membangun daerah. Kepentingan membangun daerah hanya digunakan sebagai dasar semu untuk menutupi kepentingan lain yang lebih besar. Karena jika dilogikakan, niat tulus membangun daerah tidak akan dimulai dengan membohongi masyarakat yang kelak akan dipimpinnya.
            Saya rasa untuk saat ini yang perlu mendapatkan perhatian lebih adalah masyarakat kelompok bawah. Karena bagi kelompok masyarakat menengah ke atas, mereka telah mampu memilih sesuai dengan apa yang mereka inginkan. Kelompok bawah selalu menjadi sasaran empuk kegiatan money politic, tetapi jangan salahkan mereka. Mereka menerima uang tersebut karena memang dengan keadaanya saat ini mereka membutuhkan uang itu untuk mencukupi kebutuhan.
            Dalam hal ini netralitas dari seluruh kalangan sangat dibutuhkan, tidak hanya pegawai negeri sipil (PNS) saja yang harus dituntut untuk netral. Saya justru berpikir netralitas tersebut juga harus tercipta bagi mereka tokoh masyarakat. Terkadang masyarakat berubah menjadi fanatik karena para tokoh masyarakatnya mengusung calon yang berbeda. Dibutuhkan sosok tokoh masyarakat yang mampu membangun pemahaman yang tepat di sekitar lingkungan tempat tinggalnya.
            Ditambah dengan peran pemerintah desa yaitu kepala desa, ketua RW bahkan sampai ketua RT jika mereka mampu menyatu dengan warganya dan perlahan memberikan pemahaman yang benar maka tidak mustahil masyarakat yang ada di daerahnya akan menjalankan pemilukada dengan penuh tanggung jawab.
            Komitmen inilah yang sampai sekarang masih saya nilai kurang. Terutama komitmen dari para calon dalam menghapus kegiatan money politic dari agenda menuju singgasana. Justru komitmen dari merekalah yang paling diharapkan, karena jika mereka sebagai orang yang diusung dengan tegas menolak hal tersebut dan direalisasikan kedalam aksi nyata, maka bersihlah pemilukada dari kegiatan money politic.
            Gembar-gembor no money politic hanya terdengar dari corong komisi pemilihan umum (KPU). Bahkan KPU sendiri telah menyediakan jalur pengaduan bagi masyarakat yang ingin menyampaikan jika mereka mengetahui terdapat calon yang melakukan kegiatan money politic. Tetapi sekali lagi, hal ini jarang dimanfaatkan oleh masyarakat karena mereka menganggap hal ini sudah lumrah terjadi setiap ada pemilukada.
            Iklan himbauan kepada masyarakat baik melalui media elektronik maupun cetak memang diperlukan. Namun jangan sampai dilupakan bahwa himbauan tersebut hanya akan menjadi sekedar himbauan jika tidak ada upaya penanaman bahwa pemilukada adalah tanggung jawab kita semua. Kesadaran dan kemandirian dalam berpolitik harus mampu dibangun pada setiap insan tanpa memandang derajat.