Pemilihan umum kepala daerah (pemilukada)
dilaksanakan setiap lima tahun sekali. Setiap itu pula akan selalu hadir
semboyan no money politic. Banyak
yang menyebutkan bahwa masyarakat kita sekarang adalah masyarakat yang cerdas,
artinya terkait dengan pembelajaran berpolitik mereka telah memiliki pendirian
yang kokoh dan tidak mudah dipengaruhi hanya dengan sejumlah uang.
Pendapat tersebut ada benarnya.
Namun saya rasa kita perlu lebih jeli dan teliti lagi dalam memahami hal
tersebut. Pasalnya masyarakat kita mempunyai karakteristik yang heterogen baik
itu dari segi pendidikan maupun ekonomi. Dari kedua faktor tersebut kemudian
akan membentuk pola pikir yang berbeda antar satu masyarakat dan yang lainnya.
Puncak ketegangan selalu hadir saat
hari terakhir menjelang pemilihan. Kita tidak dapat menutup mata dan dengan
bangga mengatakan bahwa pemilu kali ini atau pemilu sebelum-sebelumnya seratus
persen bebas dari politik uang. Politik uang sampai sekarang masih dinilai
sebagai senjata ampuh untuk mempengaruhi serta membujuk masyarakat khususnya
masyarakat di daerah pelosok dan kalangan bawah. Kegiatan ini kalau boleh saya
menyebutnya sebagai gerakan “bawah tanah” yang tidak tampak di permukaan namun
di sisi lain kegiatan ini terus berjalan.
Inilah yang saya katakan sebagai
perbedaan karakteristik dalam masyarakat. Bagi masyarakat di perkotaan mungkin
saja aroma money politic tidak
sekental ketika kita berada di pedesaan. Bahkan rutinitas kotor ini melahirkan
sebuah hal yang dianggap biasa dan oleh beberapa orang seakan menjadi hal yang
dinantikan. Pemilukada merupakan waktu untuk menunggu pembagian uang. Bahkan hal yang
paling parah adalah tidak pergi ke tempat pemungutan suara (TPS) karena tidak
adanya calon yang membagikan uang.
Melihat hal ini saya memiliki dua
sisi pandang. Pertama, calon yang melakukan praktik money politic adalah calon yang tidak siap untuk kalah. Siap untuk
kalah? Kalimat tersebut seakan merupakan sebuah lelucon belaka, karena semua
orang yang maju dalam pencalonan pasti mengharapkan dirinya menang. Faktanya
kita hanya membutuhkan satu pasang calon saja sebagai pemimpin, itu berarti
yang lain hanya akan mendapat gelar juara kedua dan seterusnya.
Kedua, niat pencalonan diri belum sepenuhnya
mengarah kepada kepentingan membangun daerah. Kepentingan membangun daerah
hanya digunakan sebagai dasar semu untuk menutupi kepentingan lain yang lebih
besar. Karena jika dilogikakan, niat tulus membangun daerah tidak akan dimulai
dengan membohongi masyarakat yang kelak akan dipimpinnya.
Saya rasa untuk saat ini yang perlu
mendapatkan perhatian lebih adalah masyarakat kelompok bawah. Karena bagi kelompok
masyarakat menengah ke atas, mereka telah mampu memilih sesuai dengan apa yang
mereka inginkan. Kelompok bawah selalu menjadi sasaran empuk kegiatan money politic, tetapi jangan salahkan
mereka. Mereka menerima uang tersebut karena memang dengan keadaanya saat ini
mereka membutuhkan uang itu untuk mencukupi kebutuhan.
Dalam hal ini netralitas dari
seluruh kalangan sangat dibutuhkan, tidak hanya pegawai negeri sipil (PNS) saja
yang harus dituntut untuk netral. Saya justru berpikir netralitas tersebut juga
harus tercipta bagi mereka tokoh masyarakat. Terkadang masyarakat berubah
menjadi fanatik karena para tokoh masyarakatnya mengusung calon yang berbeda. Dibutuhkan
sosok tokoh masyarakat yang mampu membangun pemahaman yang tepat di sekitar
lingkungan tempat tinggalnya.
Ditambah dengan peran pemerintah
desa yaitu kepala desa, ketua RW bahkan sampai ketua RT jika mereka mampu menyatu
dengan warganya dan perlahan memberikan pemahaman yang benar maka tidak
mustahil masyarakat yang ada di daerahnya akan menjalankan pemilukada dengan
penuh tanggung jawab.
Komitmen inilah yang sampai sekarang
masih saya nilai kurang. Terutama komitmen dari para calon dalam menghapus
kegiatan money politic dari agenda
menuju singgasana. Justru komitmen dari merekalah yang paling diharapkan,
karena jika mereka sebagai orang yang diusung dengan tegas menolak hal tersebut
dan direalisasikan kedalam aksi nyata, maka bersihlah pemilukada dari kegiatan money politic.
Gembar-gembor no money politic hanya terdengar dari corong komisi pemilihan umum
(KPU). Bahkan KPU sendiri telah menyediakan jalur pengaduan bagi masyarakat
yang ingin menyampaikan jika mereka mengetahui terdapat calon yang melakukan
kegiatan money politic. Tetapi sekali
lagi, hal ini jarang dimanfaatkan oleh masyarakat karena mereka menganggap hal
ini sudah lumrah terjadi setiap ada pemilukada.
Iklan himbauan kepada masyarakat
baik melalui media elektronik maupun cetak memang diperlukan. Namun jangan
sampai dilupakan bahwa himbauan tersebut hanya akan menjadi sekedar himbauan
jika tidak ada upaya penanaman bahwa pemilukada adalah tanggung jawab kita
semua. Kesadaran dan kemandirian dalam berpolitik harus mampu dibangun pada
setiap insan tanpa memandang derajat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar