Sabtu, 29 November 2014

Bunga di Tepi Jalan



            Tak seperti biasanya, peringatan hari guru nasional yang ke- 69 kali ini memiliki makna yang mendalam bagi saya. Selain sejak dari pagi saya merasa terharu karena berita televisi yang dipenuhi dengan acara penyerahan kado, kue atau sungkeman yang dilakukan oleh siswa kepada guru di sekolah mereka. Hal lainnya yang membakar api semangat dalam diri yaitu acara dialog bersama menteri pendidikan Anies Baswedan di salah satu televisi swasta. Dengan gaya tutur kata beliau yang khas, saya mendapatkan semacam harapan serta angan-angan baru untuk pendidikan Indonesia yang lebih baik khususnya mengenai aspek guru.
            Saya sepakat ketika beliau mengungkapkan bahwa apa yang kita rasakan pada diri kita sampai saat ini adalah berkat jasa para guru kita di masa lampau. Tidak peduli bagaimana kita berjuang menaklukkan hidup saat ini, tetapi bekal yang telah kita gunakan adalah dari mereka para guru. Ketika saat ini sebagian dari kita telah merasakan titik kejayaan, jika kita mau untuk menoleh bagaimana para guru kita di masa lampau, mungkin beliau masih tetap saja bersahaja seperti dulu kala persis saat kita masih duduk dihadapan beliau di sebuah ruang kelas. Walau pun memang saat ini beberapa guru kita sudah memiliki tunjangan yang mumpuni, tetapi saya rasa sisa-sisa tenaga itu masih terlihat.
            Seketika saya teringat Ibu saya yang juga seorang guru SD yang telah mengabdi selama 30 tahun. Menjadi seorang guru adalah pengabdian, saya rasa itu ungkapan yang paling tepat untuk menggambarkan usaha beliau selama ini. Saya sering mendengar cerita darinya mengenai siapa saja anak didiknya yang saat ini telah menjadi dokter, polisi, pengusaha tekstil, pedagang kios. 30 tahun bukan waktu yang singkat, ratusan siswa telah beliau bimbing, ratusan siswa telah beliau berikan ilmu pengetahuan. Seketika itu saya benar-benar terharu memikirkan sosok yang sering dipanggil dengan sebutan guru.
            Jika sudah demikian lalu mengapa saat ini masih saja terasa seakan pendidikan kita tidak memiliki hasil yang signifikan di masyarakat? Pertanyaan tersebut sedikit terjawab ketika saya hari ini sedang melakukan perjalanan pulang dari rumah saudara yang letaknya disalah satu sudut desa. Perjalanan tersebut saya secara tidak sengaja bertemu dengan teman lama dari Om. Om Handoko (Om Doko) demikian saya memanggilnya. Saling sapa yang tidak sengaja itu terjadi di tengah jalan dan secara spontan kami lanjutkan dengan bertanya kabar. Sebuah peristiwa yang tidak direncanakan sebelumnya dan dengan situasi yang sedikit terburu-buru menjadikan kita ngobrol ditepi jalan. Obrolan yang niatnya hanya sekilas ternyata panjang lebar hingga 45 menit. 45 menit kita menghabiskan waktu ditepi jalan dengan lalu lalang para tetangga.
            Itulah mengapa saya sebut tulisan ini bunga di tepi jalan. Karena selama obrolan di tepi jalan itu saya kembali menemukan sesuatu pemikiran yang berbeda dari masyarakat umumnya yang saya dapatkan dari beliau. Kita membicarakan banyak hal, tapi entah mengapa seakan tema kita saat itu berkutat seputar pendidikan. Nah pertanyaan di atas dalam obrolan kami menyebut sebagai adanya sebuah pemasungan makna pendidikan oleh masyarakat kita saat ini. Sekolah hanya dipandang sebagai sebuah tahap yang harus dilewati oleh para pemuda usia sekolah tanpa melihat secara menyeluruh bagaimana sebenarnya harapan dari pendidikan itu. Ditambah lagi dengan pergeseran peran guru yang semakin tergeser oleh zaman tetapi sumber daya kita tidak mengikuti perkembangan tersebut. Hal semacam itu berulang terus-menerus berpuluh-puluh tahun hingga semacam inilah kejadian yang “menimpa” kita.
            Pendidikan menyiapkan manusia sebagai seorang problem solver yang saat ini lebih cenderung sebagai penikmat hasil akhir dari pada proses. Masyarakat kita hingga saat ini masih memiliki orang-orang yang radikal. Radikal dalam hal ini saya artikan sebagai orang-orang yang berpemikiran jauh kedepan, tidak hanya sekedar seperti inilah memang kenyataannya, lebih kepada bagaimana memperbaiki ini semua. Namun jumlah masyarakat yang demikian hanya minoritas dan masih kalah jumlahnya dengan masayarakat yang Dogmatis. Hal inilah yang selama ini sedikit mengganggu pemikiran saya. Saya berpikir jika memang benar demikian (minoritas selalu kalah dengan mayoritas) lalu bagaimana sebuah gerakan perubahan akan terjadi?
            Sore itu saya benar-benar bersyukur bertemu dengan beliau walau pun dalam posisi yang sedikit tidak nyaman. Beliau mengungkapkan bahwa untuk menghadapi hal yang demikian kita tidak perlu bersusah payah untuk mendebat mereka. Masyarakat adalah hakim yang paling kejam. Tanpa data yang jelas dan akurat mereka dapat saja dengan segera menyalahkan setiap orang yang terkesan “melenceng” dari biasanya. Biarkanlah mereka dengan argumen mereka sendiri, kita tidak perlu memaksakan pemikiran-pemikiran kita kepada mereka. Yang terpenting adalah bagaimana kita tetap bisa menyalurkan gagasan-gagasan kita walau pun itu berjalan dengan lambat, ya ....syukur kalau bisa berjalan cepat. Namun pelan pun tidak menjadi masalah asalkan gagasan itu masih tetap hidup.
            Menjadi seorang yang idealis itu perlu karena itu semacam prinsip yang kita pegang sehingga kita tidak dengan mudah terbawa arus, tetapi sikap realis juga harus kita perhatikan karena itulah yang menjaga kita agar tidak terlampau egois.
            Hari ini melalui sebuah tayangan berita televisi dan pertukaran ide dengan seseorang yang saya sebut sebagai senior telah memberikan banyak wawasan yang membawa saya kepada perenungan ini. Selamat hari guru nasional kepada Ibu saya, guru-guru saya sejak dari SD hingga perguruan tinggi, serta seluruh guru di pelosok Nusantara apa pun itu sebutan bagi mereka (entah guru swasta, guru honorer, guru kursus, bahkan guru ngaji sekali pun). Jangan berhenti berharap dan mendatangkan perubahan.

Rabu, 01 Oktober 2014

Maha Pemberi Rizky



            “Mobil Dek, doain Bapak besok bisa mbeliin adek yang kayak gitu ya. Mobil beneran”. Sebuah kalimat yang ku dengar ketika suara Adzan Magrib baru saja berhenti dan diiringi dengan suara tanah tergerus ban mobil yang berjalan. Saat itu aku selesai mandi dan mejemur cucian di samping rumah. Terdengar langkah kaki seorang lelaki dan seorang balita yang sedang digendongnya. Pagar setinggi dua meter itu menghalangi pandangan ku sehingga aku tidak tahu pasti siapa yang sedang berjalan di samping rumah. Tetapi mendengar suaranya aku yakin dia adalah tetangga ku yang rumahnya selisih 4 rumah dari rumah ku.
            Dari perkataan yang dilontarkan sang Bapak, balita itu hanya menanggapi dengan suara rewel khas balita. Rizky, salah satu hal yang terkadang kita bingung memikirkannya. Kata orang bijak, rizky itu sudah ada yang mengatur. Kalau mau dirasa ya memang benar, Tuhan telah mengatur semuanya. Termasuk rizky dari kita akan lahir sampai dengan akhir hayat kita. Namun rupanya perkataan bijak itu tidak selalu manjur untuk menjadi obat penenang disaat kita galau memikirkan rizky.
            Sebagai seorang anak pasti kita ingin untuk membahagiakan orang tua. Kata membahagiakan mungkin masih terdengar abstrak. Jika boleh diperjelas mungkin kata membahagiakan dapat diarahkan berupa seorang anak yang mampu memiliki pekerjaan yang mantap, sehingga secara ekonomi mampu untuk memberikan penghidupan yang layak untuk calon keluarga serta merawat kedua orang tua. Yap..... siapa pun sepakat kalau orang tua tidaklah menginginkan harta benda sebagai balasan selama ini mereka merewat kita. Bukan berarti mempersempit pandangan bahwa kebahagiaan itu adalah harta, tetapi lebih kepada kita mampu menunjukkan keberhasilan dan kesuksesan hasil dari jerih payah didikan orang tua.
            Tapi bagaimana jika kita seorang anak yang ya.... katakanlah sudah usia kerja tetapi sampai sekarang juga belum kunjung mendapatkan pekerjaan. Atau.... seorang anak yang sudah bekerja tetapi gaji yang diperoleh belum mampu untuk memberikan kebahagiaan yang kita anggap sempurna untuk orang tua. Kedua hal ini akan membawa kita serasa jauh dari angan-angan dan mimpi tentang kesuksesan. Seperti sebuah peluang yang menemui jalan sempit dan terbakar dengan api keputus asaan hingga tercium aroma letih dan kepasrahan menunggu episode selanjutnya.
            Antara sadar dan tidak kita masih memegang pesan seorang bijak yang mengatakan Tuhan telah mengatur semuanya. Namun jika selamanya kita hanya ter-nina bobo-kan oleh perkataan itu, apa jadinya? Mungkin yang tepat itu adalah menunggu Tuhan memberikan jalan Nya diwaktu yang Dia kehendahi sembari kita mencoba dengan sebaik mungkin yang kita bisa. Tanpa rasa ragu, rahasia itu milik Nya.
            Tapi juga kenyataan tak semudah itu. Lingkungan sekitar juga terkadang memberikan tekanan yang cukup membuat kita ragu akan apa yang sedang kita jalani, atau bahkan ragu dengan apa yang sedang kita tunggu. Bagaimana cara pandang tetangga, bagaimana para saudara yang siap menertawakan saat kita tak berdaya (saudara macam apa itu? Tapi yap, itulah realita, Anda pasti punya saudara semacam itu bukan?) atau mungkin calon mertua yang mengharapkan idaman hati anaknya segera memiliki pekerjaan. Semua itu akan dengan cepat menghantui dan merusak pemikiran-pemikiran yang sudah rapi Anda susun terkait dengan apa yang Anda lakukan saat ini.
            Tidak ada yang dapat memaksa Tuhan. Tuhan maha kuasa dengan segala kehendak Nya. Siapa yang tahu memang jalan awalnya seperti ini. Namun masa depan tetaplah menjadi rahasia, sifat rahasia itulah yang membuat kita was-was akan seperti apa masa depan kita kelak. Segala yang telah kita susun rapi, termasuk susunan ketenangan hati kita dalam menjalankan “masa tunggu karunia Tuhan” akan dengan seketika lenyap saat kita menghadapi semua bentuk tuntutan dari lingkungan sekitar. Kita pun akan mempertanyakan apakah sebenarnya yang kita lakukan ini dalam menunggu adalah sebuah pilihan yang tepat?
            Kenapa kita dapat berpikiran ini tepat atau tidak? Karena bagi mereka para “penonton” kita tidak melakukan apa-apa. Bagi mereka kita hanya terlalu nyaman dalam berpegang teguh pada pernyataan Tuhan telah mengatur semua. Hal ini wajar kerena yang mereka inginkan adalah hasil, selama kita belum memiliki hasil, mereka akan mempertanyakan terus!!!
            Sebenarnya kita dapat mengabaikan semua tuntutan mereka, tetapi jika itu adalah orang yang kita cintai misal orang tua dan istri, apakah kita masih akan cukup memiliki akal sehat untuk berpegang teguh terhadap pernyataan awal? Saya rasa ini adalah semacam ujian sejauh mana kita percaya kepada Tuhan bahwa hidup kita telah dijamin oleh Nya. Kesabaran, kedekatan kita dengan Tuhan akan membawa kita mampu melewati ini semua. Tetapi melihat harapan orang tua tak kunjung datang memanglah sangat menyakitkan. Sangat!!
            Para ulama pernah berkata bahwa Tuhan itu selalu menurunkan apa yang memang sudah dijanjikan untuk hamba Nya. Permasalahnnya sekarang terkadang manusia memilih melakukan kesalahan kecil yang menjadikan Tuhan merasa perlu untuk menunda pemberian Nya. Memperbaiki diri menjadi jalan yang paling utama untuk instrospeksi.

Senin, 29 September 2014

Sampah Dunia Nyata dan Sampah Dunia Maya



            Sampai saat ini saya masih sering melihat seseorang dengan mudahnya membuang sampah sembarangan. Entah itu dibuang di sungai atau dibuang dengan begitu saja ditempat itu juga tepat ketika mereka selesai menghabiskan cemilan. Misalnya nih ya, sering saya lihat orang-orang berkendara dengan menggunakan mobil dengan seenak perutnya membuang bungkus makanan dari dalam mobil yang melaju. Tinggal buka kaca jendela dan weeerrrr plastik makanan terbang ketengah jalan. Atau satu lagi, mereka yang sedang menikmati makanan ringan sambil ngobrol dengan temannya, juga dengan seenak udelnya sendiri membuang bungkusnya dibawah tempat obrolan mereka.
            Apa sebenarnya yang sedang dihadapi masyarakat kita saat ini? Sampai-sampai kepedulian terhadap sesama dan lingkungan juga terabaikan. Kepedulian terhadap sesama? Yap, lihat saja itu mereka selalu sibuk dengan gadget yang mereka genggam. Beberapa menit sekali pasti mereka akan mengecek sosmed yang mereka miliki. Gak tau deh seberapa penting sosmed buat mereka. Gak tau juga apa isi sosmed mereka. Kalau isinya Cuma sekedar pertemanan biasa, rasanya kok terlalu berlebihan jika kita harus memantau perkembangan status dari teman-teman sampai disetiap menitnya. Kecuali kita melalui sosmed mengikuti hal-hal yang penting seperti akun siaran berita, surat kabar atau akun-akun pengetahuan mungkin akan mendatangkan manfaat. Coba kalau kita berani jujur berapa prosentase waktu yang kita gunakan dalam sehari untuk keperluan sosial media?
            Dua hal ini yang saat ini memenuhi ruang pikiran saya. Satu sisi lingkungan yang semakin menurun kualitasnya karena ulah manusia, sisi lain kualitas komunikasi secara verbal manusia yang semakin munurun pula. Saya mengira ini membutuhkan kontrol diri. Kontrol diri saya artikan sebagai sikap yang memikirkan baik buruknya suatu kegiatan yang dipikirkan oleh individu tersebut sebelum melakukan hal tersebut.
            Siapa bilang tempat sampah yang tersedia jumlahnya kurang? Buktinya ada tempat sampah disebelah juga masih ada orang yang membuang sampah asal lempar, padahal tempat sampah juga jaraknya hanya beberapa langkah. Siapa bilang ketinggalan status teman-teman itu bakal dibilang kuper? Buktinya orang-orang besar sekelas Pak SBY justru akun sosmednya bukan beliau yang menjalankan. Kontrol terhadap perilaku kita itu sangat dibutuhkan. Kitalah orang yang mampu mengontrol diri kita sendiri, bukan orang lain.
            Renungan yang mungkin dapat digunakan sebagai bahan untuk tulisan ini adalah: dulu lingkungan kita ketika Eyang kita lahir masih dipenuhi dengan udara yang sejuk. Sampah rumah tangga hasil konsumsi manusia belum sebanyak saat ini. Jika kita dari dulu waktu SD diajarkan oleh guru untuk selalu membuang sampah pada tempatnya, kenapa sampai saat ini kalimat itu hanya sebatas sebagai kalimat bijak penghias tembok belaka? Atau jangan-jangan memang benar kita itu lebih pintar menghafal dari pada memaknai ilmu?
            Yang kedua, coba bayangkan 10 tahun yang lalu ketika sosial media belum booming seperti sekarang. Apakah mereka para muda-mudi merasa boring ketika sedang menghabiskan waktu berdua di sebuah sudut tempat makan? Ngobrol panjang lebar sambil menghabiskan pesanan makanan mereka. Lalu kenapa sekarang tiba-tiba kita harus sibuk menatap layar smart phone dengan obrolan yang terbatas dan menyendok makanan dimeja dengan mata tetap tertuju pada layar smart phone.
            Gaessss.... bukan bermaksud sok idealis, hanya saja coba renungkan kedua hal di atas apakah ada benarnya kita melakukan semua itu. Dunia semakin tua butuh orang-orang yang smart gaess. Bukan Cuma gadget kalian yang smart, tapi orangnya yang make juga musti lebih smart. Jaga alam dan lihatlah sekitar.