Terlepas dari polemik pelaksanaan
Ujian Nasional (UN), sampai saat ini UN masih tetap dijalankan tentunya dengan
berbagai perbaikan dan penyempurnaan. Beberapa kalangan menilai UN bukanlah
satu-satunya jalan keluar untuk mensejajarkan posisi pendidikan Indonesia
dengan negara tetangga. Hal tersebut didasarkan atas penilaian bahwa UN justru
memberikan dampak negatif yaitu membuat siswa tertekan dan cenderung takut
untuk menghadapi UN karena waktu 3 tahun sekolah hanya akan ditentukan dalam
waktu 3 hari dan hanya dengan beberapa mata pelajaran tertentu yang notabene
pelajaran “momok”. Selain itu disebutkan bahwa kualitas pendidikan di Indonesia
belum merata khususnya dibeberapa daerah terpencil dan beberapa daerah luar
pulau Jawa, jadi dengan standart nilai UN yang sama di seluruh Indonesia maka
akan dianggap berat bagi mereka yang berada di daerah terpencil.
Namun semua argumen tersebut tidak
menggoyahkan hati pemerintah khususnya Bapak Mohammad Nuh selaku Mendiknas saat
ini. Beliau beranggapan bahwa UN harus tetap dilaksanakan sebagai upaya
memperbaiki kualitas pendidikan di Indonesia. UN sejatinya adalah sebagai ujian
akhir atau sejenis tes formatif untuk memastikan bahwa keluaran sekolah dasar
atau sekolah menengah mempunyai standart nilai yang dapat dipertanggung
jawabkan. Sedangkan untuk menanggapi ketakutan siswa yang berlebihan terhadap
UN dan perbedaan kualitas pendidikan di Indonesia pihaknya menyampaikan bahwa
ini adalah pembangkitan peran guru dan sekolah yang bertugas untuk menyiapkan
siswa mereka dalam menghadapi UN. Persiapan tersebut dapat dilakukan melalui
pemberian materi yang mendalam dan penataan psikologis siswa . Pihaknya
menambahkan inilah salah satu tujuan dari UN yaitu sebagai alat evaluasi. Dengan
evaluasi pelaksanaan hasil UN maka kita akan mengetahui apa yang harus
ditingkatkan oleh masing-masing satuan pendidikan apabila ternyata instansi
mereka termasuk dalam kategori dibawah standart.
Sampai disini saya menilai terdapat
tujuan baik dengan menilai pelaksanaan UN sebagai salah satu alat evaluasi
menyeluruh. Tidak hanya untuk guru, sekolah, bahkan sampai dengan kementerian
pendidikan nasional sekalipun. Tadi adalah seputar argument perencanaan
pelaksanaan UN, bagaimana dengan yang terjadi dilapangan? Pengumuman kelulusan
SMA telah kita lalui beberapa hari yang lalu tepatnya hari Sabtu tanggal 26 Mei
2012. Pelaksanaan ditingkat SMA masih ditemukan isu bocoran kunci jawaban yang
beredar dikalangan pelajar. Pemerintah telah menghimbau kepada semua pihak
khususnya siswa untuk tidak terkecoh, karena sistem penyerahan soal mulai dari
pencetakan hingga cara pendistribusian soal sudah dilakukan secara ketat.
Pemerintahpun melibatkan perguruan tinggi sebagai pengawas independent. Pengawas independent
ini tidak hanya bertugas mengawasi pelaksanaan UN di sekolah saja, namun
juga bertugas memastikan mekanisme pencetakan soal, penyimpanan soal dan
pendistribusian soal dilakukan sesuai prosedur yang seharusnya. Jadi melalui
pengawasan yang ekstra ketat dipastikan tidak akan ada kebocoran soal. Untuk
areal Jawa Tengah pencetakan soal dipercayakan kepada PT. Pura Barutama Kudus.
UN dari masa kemasa telah mengalami
perubahan kebijakan, hal ini merupakan bukti kongkret bahwa pelaksanaan UN
sebagai evaluasi pendidikan. Jadi UN selanjutnya pasti akan dilakukan
penyempurnaan baik dari segi perencanaan dan pelaksanaan dilapangan. Jika kita
melihat peran gurupun sudah semakin kompleks, para guru sibuk mempersiapkan
siswa dengan materi dan berbagai “bekal” lainnya, termasuk persiapan mental
siswa. Guru berusaha merubah mind sett
siswa bahwa UN menyeramkan dan ketidak lulusan adalah lubang besar menganga
yang siap menelan mereka.
Semua pihak sudah sangat memberikan
perhatian lebih kepada persiapan UN ini, namun mari kita lihat kegiatan yang
dilakukan beberapa siswa yang telah diumumkan lulus UN. Rasa bangga dan senang
sangat menyeruak di hati mereka hingga “tradisi tahunan” pun siap untuk
dijalankan. Ya, saya menyebutnya dengan “tradisi tahunan”. Namun ini jelas
adalah tradisi yang tidak seharusnya dilakukan. Anda tahu arah pembicaraan
saya, corat-coret seragam, tembok, konvoi kendaraan bermotor yang sangat tidak
memperhatikan keamanan berkendara. Indonesia sudah berkali-kali melaksanakan UN
dan selalu berujung pada “rasa syukur yang salah”. Hal ini selalu
berulang-ulang tiap tahunnya. Bukan berarti dinas terkait tidak melakukan
penanganan terhadap kasus ini. Beberapa dinas terkait yaitu dinas pendidikan
baik daerah maupun kota, kepolisian bidang lalu lintas, serta pihak sekolah
sudah merumuskan solusi pemecahan masalah ini. Salah satunya yaitu pengumuman
kelulusan dilakukan sore hari pukul 16.00 dengan tujuan agar siswa tidak
berkonvoi. Namun seakan mereka (para siswa) mengaanggap hal tersebut hanya
angin lalu.
Beberapa media cetak bulan Juni lalu
mengabarkan bahwa terjadi kecelakaan (meninggal) dengan korbannya adalah
seorang pelajar lulusan SMA yang ikut dalam konvoi kendaraan bermotor. Hal
tersebut terjadi setelah motor yang ia kendarai bersenggolan dengan motor
temannya. Jika sudah seperti ini mau bagaimana lagi? Hari kelulusan yang
seharusnya menjadi gerbang masa depan menjadi gerbang maut. Jika anda adalah
siswa peserta konvoi, apakah anda perna berfikir bahwa arak-arakan anda dan
teman-teman anda sangat mengganggu pengguna jalan yang lain? Mereka sebetulnya
sangat geram dengan aktivitas tersebut. Suara knalpot yang bising dan sikap
pengendara yang ugal-ugalan berboncengan 2 orang serta tak jarang sambil
memegang rokok, dan siswi yang tampil “liar”.
Saya ingin menyampaikan bahwa, mari
kita jangan ulangi lagi kegiatan-kegiatan tersebut. Hal tersebut sungguh tidak
etis dilakukan oleh siswa yang selama 3 tahun telah dididik di bangku sekolah. Anda
adalah siswa yang cerdas dan saya yakin anda tidak akan semudah itu untuk
melakukan hal-hal bodoh. Sialahkan mencari dan merencanakan kegiatan yang jauh
lebih baik karena anda adalah calon mahasiswa. Kita sadari atau tidak bahwa “tardisi
tauhanan” yang dilakukan para lulusan SMA sekarang sudah ditiru oleh adik-adik
mereka usia SMP. Sungguh ironis karena mereka belum cukup dewasa untuk
memikirkan apa yang mereka lakukan. Mereka hanya meniru kakak tingkat mereka
yang telah SMA.
Beberapa hal positif yang dilakukan
para lulusan SMA antara lain mereka yang ada di kota Solo. Mereka hari minggu
berkumpul di ajang car free day (CFD)
mengenakan seragam yang bersih dari coretan dan bersepeda bersama membaur
dengan masyarakat. Serta yang ada di kota lain yaitu dengan menyumbangkan
seragam mereka kesekolah karena adik kelas mereka banyak dari kalangan keluarga
tidak mampu. Hal ini dinilai sangat jauh lebih sopan dan mencerminkan pelajar
Indonesia yang santun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar