Tepat lima belas menit sebelum jam
kantor usai, telepon genggam ku berdering. “Mas nanti pulang kerja jangan telat
ya. Janjinya kita hari ini mau nonton.” Suara diujung telepon mengingatkan
sebuah janji yang telah ku ikrarkan kepada Tia.
“Iya sayang, ini sebentar lagi
selesai. Paling cuma meeting singkat.”
Jawabanku rasa-rasanya bukan jawaban yang tepat sampai Tia terdengar
menggerutu. Kita bukan lagi ABG kemarin sore yang baru memadu kisah kasih cinta
monyet. Tapi begitulah Tia, dengan segala kemanjaannya dia selalu berhasil
membuat aku bertekuk lutut dan mengabulkan segala permintaannya. Apalagi
menolak permintaan istri yang sedang hamil, pamali. Kata orang bayinya nanti
ngileran.
“Bro kerjaaan ku sudah beres. Aku
pulang duluan.”
“Eh eh ... buru-buru banget, masih
juga jam segini.”
“Biasa Bos...... Rio mau nge-date tuh sama istrinya ...” Ocehan Kepala
bagian dan Ratna sama sekali tidak aku tanggapi serius. Aku terus menggerakkan
tangganku menata tumpukan berkas yang sedari pagi bagaikankan menara Pisa aku
tata sedemikian rupa hingga menyerupai gedung hotel Ciputra dan Horison yang
bersebelahan. Kokoh, simetris dan menjulang ke atas.
“Tia ngajak nonton Bos.” Sedikit
komentar ku kepada mereka berdua dengan senyum tipis.
“Ceile .... sempet-sempetnya ya kalian.
Masih kayak anak kuliahan aja. Nonton apaan? Rangga sama Cinta?”
“Ho’o Bos.” Sekali lagi jawaban ku
membuat seisi ruangan jadi ramai. Mereka gaduh, ada yang menepuk meja, ada yang
mengeluarkan kata ciyee..., sampai ada yang siul-siul tak jelas maksudnya.
Entahlah siapa yang sebetulnya mirip anak kuliahan.
Di tengah keriuhan yang dilakukan
seluruh teman kantor, suara Riana memecah olok-olokan mereka. “Lah ngantre
tiketnya berapa lama? Rangga – Cinta mah lagi hits banget, semua ABG labil pada
rebutan tiket.”
Big
thanks buat Riana yang sukses nambahin keriuhan kantor dengan menyejajarkan
aku pria yang sudah berkepala tiga dengan mereka para ABG yang suka selfie di deretan antrean loket bioskop
lalu diunggah di Path supaya kekinian
katanya.
Sebelum waktu ku semakin habis
menanggapi orang-orang kantor yang seakan tidak kangen dengan rumah mereka, aku
bergegas menuju parkiran dan memacu kendaraan secepat mungkin, berharap
kemacetan jam pulang kerja belum seberapa mengular.
Rasa
cinta yang membuncah di dalam dada, apalagi cinta masa muda yang penuh dengan
gelora, memang memberikan sensasi kenangan tersendiri. Aku masih ingat
bagaimana dulu saat masih remaja, aku begitu mendambakan Tia untuk menjadi
pendamping hidup. Tak peduli secuek apapun dia dalam menanggapi semua usaha ku,
aku tetap memburunya. Aku pun tak tahu itu memang benar penilaian ku Tia
bersifat cuek, atau aku yang sama sekali tak memiliki kekuatan hingga usahaku
begitu kecil dan sama sekali tak nampak di hadapannya. Tapi toh akhirnya
semesta berpihak kepada ku.
Pernah
suatu ketika aku ditegur oleh Ayahnya karena pulang agak larut setelah
menghabiskan malam Minggu. Tia sedikit membelaku dengan pernyataannya yang dia
ucapkan kepada Ayahnya. Dia mengatakan kalau acara pagelaran ketoprak di Taman
Budaya Raden Saleh mengalami pergeseran jadwal sehingga acara ketoprak pun
selesai agak mundur waktunya. Padahal acara dimulai tepat pukul 19.00 hingga durasi
dua jam penampilan.
Aku ingat betul bagaimana syahdunya malam
itu, ketika kita selesai menyaksikan pagelaran ketoprak dan aku melihat Tia
saat itu nampak dia masih mengharapkan kebersamaan kita bisa bertambah sebentar
lagi. Walaupun masih melekat erat di memorinya ucapan Ibu sore tadi yang
berpesan jangan pulang lebih dari jam 21.00. Pesan yang terucap dari seorang
Ibu yang khawatir kepada anak gadisnya, tepat sebelum kami meninggalkan gerbang
rumah.
Aku pun sama, masih mengingat jelas
kata-kata Ibunya. Tapi entah setan apa yang merasuki pikiranku, dengan gugup
aku mengajaknya mampir menikmati wedang ronde di pinggiran jalan Pahlawan malam
itu. Diantara deretan abang tukang ronde, kita pilih satu yang tak terlalu
ramai. Malam itu hanya aku, Tia dan sepasang mangkuk berisikan wedang ronde
milik kita.
Lalu
lalang kendaraan dan pengamen jalanan yang mencoba mengais rejeki menjadi
intermezo bagi kita. Obrolan demi obrolan serasa tak sebanding dengan jumlah
belahan kacang dan butiran ronde yang ada di mangkuk kami. Oleh sebab itu kami
berusaha menyeimbangkannya dengan cara satu sendokan berisi satu belahan kacang
atau satu butir ronde setara dengan 5 menit obrolan. Hal yang tidak lazim,
tetapi lampu-lampu penerangan jalan berkata itu hal yang wajar dan supaya aku
lebih percaya mereka merunduk berbisik kepada ku, lalu sekali lagi berkata orang
lain juga melakukan hal itu termasuk sepasang kekasih yang duduk di ujung jalan
sana.
Persekongkolan antara setan dan
lampu penerangan jalan sangat sukses. Mereka mampu membaca sebuah kenyataan kalau
kita juga sebenarnya tidak ingin suasana ini cepat berakhir.
Segala macam cerita dan berjuta
kenangan masih rapi tersimpan di sini, di hati. Apa pun yang dulu kita lalui,
saat ini sudah menjadi cerita bersama karena aku dan Tia saat ini sudah seatap.
Rencana nonton bareng dengan Tia
akhirnya terwujud juga. Selain karena aku pulang kantor agak awal, juga karena
kita milih jam nontonnya jam 21.00 jadi ya anak-anak bau kencur lumayan
tereliminasi jam segitu. Kecuali ada persekongkolan antara setan dan sutradara
film yang membisiki telinga mereka.
“Sayang film ini bagus banget lho.
Ada satu tempat di Magelang yang sebelumnya aku ingin ajak kamu ke sana tapi
malah keduluan dipakai buat shooting film.
Huhh...!!!”
“Loh kenapa kita tidak asal ke sana
sayang?” Jawab ku singkat tapi penuh tanda tanya.
“Ah males, nanti dikira kayak ABG
mburu lokasi shooting biar ngehits.”
Jawabnya juga singkat dan mengundang tawa ku.
Itulah Tia dengan segala
kemampuannya untuk mengorek behind the
scene-nya semua film yang bakal kita tonton. Termasuk film ini, yang sejak
kemarin dikepoin sama dia. Obrolan kita perlahan berkurang seiring dengan
meredupnya lampu bioskop hingga kita benar-benar terdiam saat suasana gelap
total.
Kita sama-sama terlarut dalam tiap
adegan dan saling memandang ketika ada beberapa adegan yang rasa-rasanya
demikianlah sepasang kekasih saat hatinya sudah terpaut dengan satu pilihan.
Ketika film usai, teramat banyak hal
yang kita bahas. Sampai-sampai kita tidak sadar suara kita begitu lantangnya
hingga tiap orang yang kita lalui dari gedung bioskop hingga parkiran semuanya
menoleh memperhatikan kita. Ya, begitulah kita. Walau pun terkadang obrolan
kita malah seakan kita sedang membuat skenario film sendiri. Aneh dan sama
sekali tidak nyambung dengan film yang telah kita tonton.
“Mas, Rangga itu mirip kamu ya.”
Disebut mirip Nicholas Saputra, aku
cengar-cengir.
“Rangga Mas, bukan Nicholas.” Tia
paham maksud cengar-cengir ku.
“Rangga itu suka nulis. Punya buku bacaan
banyak. Kemana-mana otaknya suka merekam kejadian sekitar. Dia juga kalau
ngomong kalimatnya puitis gitu.”
Karena merasa karakter Rangga memang
sedikit agak mirip, aku menanggapinya masih dengan cengar-cengir. “Namanya juga
film sayang, kadang ada yang mirip dengan kehidupan kita.” Aku akhiri dengan
berdehem, menambahkan kesan cool.
“Tapi beneran deh, Rangga juga lagi
nulis buku tapi gak kelar-kelar. Sama kayak Mas kan.”
Mulutku terbuka bersiap mengeluarkan
kata pertama untuk menanggapi, tapi belum sampai keluar kata itu Tia sudah melanjutkan lagi.
“Mas juga kalau lagi membuat
kesalahan bisanya cuma bilang maaf berkali-kali. Mukanya bengong.”
Aku mulai merasa tidak nyaman.
“Dulu juga Mas pernahkan hampir
memutuskan hubungan kita gara-gara Mas tidak yakin suatu saat nanti bisa
sukses.”
“Ya itu wajar sayang kalau semua
lelaki berpikiran seperti itu, takut pacarnya hidup susah setelah dinikahi
kelak. Takut ternyata kita bukan pasangan yang pas. Takut ternyata yang bisa
membahagiakan kamu itu seharusnya orang lain.” Jawab ku setengah curhat.
“Ya, persiskan Rangga.”
Sejenak suasana berubah hening.
Seakan Tia sedang marah tetapi bukan dalam kondisi marah yang seperti biasanya
dengan emosi yang meledak-ledak dan raut wajah yang tegang. Suasananya aneh,
Tia seakan marah tetapi marah secara halus. Benar-benar aneh, karena aku pun
tak tahu marah secara halus itu yang bagaimana.
Sayang
yang kamu lakukan ke saya itu, jahat!!!
Aku ingin menjawab
seperti itu. Namun rupanya itu hanya ku suarakan dalam hati. Yang terucap sebagai
jawaban untuk Tia adalah “Iya, maaf sayang.”
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar