Minggu, 16 September 2018

Mengungkap Makna dibalik Peristiwa

          Pertanyaan yang selalu ditanyakan facebook untuk kita, menarik untuk dicermati. “Apa yang Anda pikirkan?” Dari kalimat tanya sederhana ini, jutaan masyarakat bersedia menceritakan keluh kesah, kebahagiaan dan emosi pada seluruh lingkaran pertemanan dunia maya. Dengan dalih ekspresi diri, kita memerlukan wadah. Facebook memahami kebutuhan itu, lalu jadilah facebook sebagai sarana paling laris untuk curhat, yang selanjutnya diikuti oleh media sosial daring lainnya.
            Membaca buku Melawan Kuasa Perut karya Rahmat Petuguran, kita akan disodorkan 30 esai yang seluruhnya adalah tumpahan pemikirannya. Latar belakang lahirnya esai-esai ini berasal dari hal-hal kecil yang mengganggu pikiran Rahmat. Saya akui, apa yang dilakukan penulis buku ini membawa kita pada satu hal penting. Kita dipaksa menyepakati bahwa akan ada sesuatu yang lebih kompleks dibalik semua hal, meski hal-hal kecil sekali pun.
            Salah satu kerisauannya tampak pada sajian berita kriminalitas di televisi. Mulanya pemirsa akan berekspresi ngeri, kemudian nada kecaman muncul sebagai bentuk empati sesama manusia. Namun apabila berita semacam itu selalu tersaji, dalam jangka paparan yang panjang, akan cukup menghilangkan empati manusia (hlm. 15). Alhasil, ngeri hanya akan menjadi ekspresi sesaat. Hilangnya sensitifitas perasaan manusia, menjadikan otot lazim digunakan sebagai pengurai masalah ketimbang otak.
            Jika ditarik garis lurus, pola yang sama dapat digunakan untuk menjelaskan bagaimana anak muda mengimajikan kesuksesan di benak mereka. Sukses bagi mereka penikmat aktif sajian televisi, bersumber pada harta dan kepopuleran. Hal inilah yang kemudian dianggap Rahmat mampu melanggengkan industri idola: ber­jilid-jilid acara ajang pencarian bakat dengan ribuan antrean peserta (hlm. 45).
            Diantara sekian keputusan yang kita ambil, secara tidak sadar banyak dipengaruhi oleh doktrin halus yang diselipkan melalui iklan televisi. Dalih praktis dibenarkan oleh masyarakat untuk mengganti jajanan tradisional dengan aneka roti kaleng saat selebrasi lebaran (hlm. 78). Namun sekarang televisi bukan lagi pemain tunggal. Internet dengan berbagai media sosialnya mulai mengambil peran. Pemetaan selera berbusana, makanan, bahkan orientasi politik tersaji begitu lapang. Tinggal menunggu analis yang berkepentingan untuk memanfaatkannya.
         Urusan perut benar-benar menyita ambisi kita, sekaligus lahan bagi kaum industri. Jika kita tidak kritis, hanya mengikuti arus, bisa-bisa bangsa kita kembali menjadi bangsa yang terjajah. Melalui buku ini, Rahmat ingin mencoba membangun sikap kritis kita demi sebuah bangsa yang merdeka, lebih khusus lagi rakyat yang merdeka.

4 komentar: