Tak seperti biasanya, peringatan
hari guru nasional yang ke- 69 kali ini memiliki makna yang mendalam bagi saya.
Selain sejak dari pagi saya merasa terharu karena berita televisi yang dipenuhi
dengan acara penyerahan kado, kue atau sungkeman yang dilakukan oleh siswa
kepada guru di sekolah mereka. Hal lainnya yang membakar api semangat dalam
diri yaitu acara dialog bersama menteri pendidikan Anies Baswedan di salah satu
televisi swasta. Dengan gaya tutur kata beliau yang khas, saya mendapatkan
semacam harapan serta angan-angan baru untuk pendidikan Indonesia yang lebih
baik khususnya mengenai aspek guru.
Saya sepakat ketika beliau
mengungkapkan bahwa apa yang kita rasakan pada diri kita sampai saat ini adalah
berkat jasa para guru kita di masa lampau. Tidak peduli bagaimana kita berjuang
menaklukkan hidup saat ini, tetapi bekal yang telah kita gunakan adalah dari
mereka para guru. Ketika saat ini sebagian dari kita telah merasakan titik
kejayaan, jika kita mau untuk menoleh bagaimana para guru kita di masa lampau,
mungkin beliau masih tetap saja bersahaja seperti dulu kala persis saat kita
masih duduk dihadapan beliau di sebuah ruang kelas. Walau pun memang saat ini
beberapa guru kita sudah memiliki tunjangan yang mumpuni, tetapi saya rasa
sisa-sisa tenaga itu masih terlihat.
Seketika saya teringat Ibu saya yang
juga seorang guru SD yang telah mengabdi selama 30 tahun. Menjadi seorang guru
adalah pengabdian, saya rasa itu ungkapan yang paling tepat untuk menggambarkan
usaha beliau selama ini. Saya sering mendengar cerita darinya mengenai siapa
saja anak didiknya yang saat ini telah menjadi dokter, polisi, pengusaha
tekstil, pedagang kios. 30 tahun bukan waktu yang singkat, ratusan siswa telah
beliau bimbing, ratusan siswa telah beliau berikan ilmu pengetahuan. Seketika
itu saya benar-benar terharu memikirkan sosok yang sering dipanggil dengan
sebutan guru.
Jika sudah demikian lalu mengapa
saat ini masih saja terasa seakan pendidikan kita tidak memiliki hasil yang
signifikan di masyarakat? Pertanyaan tersebut sedikit terjawab ketika saya hari
ini sedang melakukan perjalanan pulang dari rumah saudara yang letaknya disalah
satu sudut desa. Perjalanan tersebut saya secara tidak sengaja bertemu dengan
teman lama dari Om. Om Handoko (Om Doko) demikian saya memanggilnya. Saling
sapa yang tidak sengaja itu terjadi di tengah jalan dan secara spontan kami lanjutkan
dengan bertanya kabar. Sebuah peristiwa yang tidak direncanakan sebelumnya dan
dengan situasi yang sedikit terburu-buru menjadikan kita ngobrol ditepi jalan.
Obrolan yang niatnya hanya sekilas ternyata panjang lebar hingga 45 menit. 45
menit kita menghabiskan waktu ditepi jalan dengan lalu lalang para tetangga.
Itulah mengapa saya sebut tulisan
ini bunga di tepi jalan. Karena selama obrolan di tepi jalan itu saya kembali
menemukan sesuatu pemikiran yang berbeda dari masyarakat umumnya yang saya
dapatkan dari beliau. Kita membicarakan banyak hal, tapi entah mengapa seakan
tema kita saat itu berkutat seputar pendidikan. Nah pertanyaan di atas dalam
obrolan kami menyebut sebagai adanya sebuah pemasungan makna pendidikan oleh
masyarakat kita saat ini. Sekolah hanya dipandang sebagai sebuah tahap yang
harus dilewati oleh para pemuda usia sekolah tanpa melihat secara menyeluruh
bagaimana sebenarnya harapan dari pendidikan itu. Ditambah lagi dengan
pergeseran peran guru yang semakin tergeser oleh zaman tetapi sumber daya kita
tidak mengikuti perkembangan tersebut. Hal semacam itu berulang terus-menerus
berpuluh-puluh tahun hingga semacam inilah kejadian yang “menimpa” kita.
Pendidikan menyiapkan manusia
sebagai seorang problem solver yang
saat ini lebih cenderung sebagai penikmat hasil akhir dari pada proses.
Masyarakat kita hingga saat ini masih memiliki orang-orang yang radikal.
Radikal dalam hal ini saya artikan sebagai orang-orang yang berpemikiran jauh
kedepan, tidak hanya sekedar seperti inilah memang kenyataannya, lebih kepada
bagaimana memperbaiki ini semua. Namun jumlah masyarakat yang demikian hanya
minoritas dan masih kalah jumlahnya dengan masayarakat yang Dogmatis. Hal
inilah yang selama ini sedikit mengganggu pemikiran saya. Saya berpikir jika
memang benar demikian (minoritas selalu kalah dengan mayoritas) lalu bagaimana
sebuah gerakan perubahan akan terjadi?
Sore itu saya benar-benar bersyukur
bertemu dengan beliau walau pun dalam posisi yang sedikit tidak nyaman. Beliau
mengungkapkan bahwa untuk menghadapi hal yang demikian kita tidak perlu
bersusah payah untuk mendebat mereka. Masyarakat adalah hakim yang paling
kejam. Tanpa data yang jelas dan akurat mereka dapat saja dengan segera
menyalahkan setiap orang yang terkesan “melenceng” dari biasanya. Biarkanlah
mereka dengan argumen mereka sendiri, kita tidak perlu memaksakan
pemikiran-pemikiran kita kepada mereka. Yang terpenting adalah bagaimana kita
tetap bisa menyalurkan gagasan-gagasan kita walau pun itu berjalan dengan
lambat, ya ....syukur kalau bisa berjalan cepat. Namun pelan pun tidak menjadi
masalah asalkan gagasan itu masih tetap hidup.
Menjadi seorang yang idealis itu perlu
karena itu semacam prinsip yang kita pegang sehingga kita tidak dengan mudah
terbawa arus, tetapi sikap realis juga harus kita perhatikan karena itulah yang
menjaga kita agar tidak terlampau egois.
Hari ini melalui sebuah tayangan
berita televisi dan pertukaran ide dengan seseorang yang saya sebut sebagai
senior telah memberikan banyak wawasan yang membawa saya kepada perenungan ini.
Selamat hari guru nasional kepada Ibu saya, guru-guru saya sejak dari SD hingga
perguruan tinggi, serta seluruh guru di pelosok Nusantara apa pun itu sebutan
bagi mereka (entah guru swasta, guru honorer, guru kursus, bahkan guru ngaji
sekali pun). Jangan berhenti berharap dan mendatangkan perubahan.