Sejak
kapan mengungkapkan rasa cinta kepada lawan jenis menjadi begitu penting bagi
para pelajar Indonesia? Pertanyaan itu muncul dengan tiba-tiba dibenak saya.
Saat itu disuatu petang yang damai dan bertepatan dengan malam Minggu saya
bersama keluarga sedang berkeliling kota. Sepanjang perjalanan saya melihat
banyak muda-mudi hilir mudik berboncengan memakai sepeda motor. Melihat kondisi
lalu lintas yang agak ramai awalnya saya mengira di kota sedang ada pertunjukan
musik atau semacamnya. Namun perlahan saya baru menyadari ini malam Minggu.
Jika
ditanya mengenai berapa jumlah pelajar Indonesia saat ini yang berstatus
pacaran, secara kuantitatif saya tidak bisa menyebutkan dengan pasti. Namun
jika dipaparkan secara kualitatif berdasarkan pengamatan atas apa yang terjadi,
saya rasa cukup membuat kita yakin kalau pacaran nampaknya menjadi tugas
tambahan bagi sebagian pelajar saat ini.
Yap
... saya katakan sebagian, karena saya percaya diantara sekian banyak pelajar
Indonesia masih ada kok yang fokus terhadap tugas mereka belajar. Masih ada kok
pelajar yang giat belajar untuk bertekat menggenggam merah putih di podium
olimpiade, masih ada kok pelajar yang giat berlatih tak kenal lelah untuk
mengharumkan tim Indonesia di bidang olah raga, dan masih ada kok pelajar yang
sibuk mengembangkan bakat-bakat yang mereka miliki untuk mengejar apa yang
mereka impikan. Ya ... walaupun saya juga tidak tahu pasti kata sebagian itu lengkapnya
sebagian besar atau sebagian kecil.
Hal
ini kemudian membuat saya berpikir kira-kira apa yang dapat menjelaskan
fenomena pacaran yang terjadi dikalangan pelajar. Hal ini menjadi penting karena
saat ini rupanya pelajar sudah tidak tabu lagi dalam hal tembak-menembak pujaan
hati, selanjutnya apa? Hal semacam ini diperparah dengan timbulnya sikap yang
tidak bertanggung jawab terhadap tugas mereka sebagai pelajar bahkan terhadap
moral mereka.
Saya
mencoba untuk mengurai hal ini dari beberapa sisi, di antaranya yaitu dari sisi
perkembangan psikologis remaja dan sisi sosial.
1. Perkembangan
psikologis remaja.
Dalam
perkembangan psikologis anak kita mengetahui fase remaja awal dimulai sekitar
usia 12 tahun. Usia dimana pertumbuhan secara fisik mulai terlihat. Tidak
terkecuali rasa ketertarikan kepada lawan jenis juga mulai tumbuh. Jadi secara
perkembangan psikologis, mereka berarti mengalami perkembangan yang normal.
Hanya saja mereka belum mampu menempatkan rasa ketertarikan ini dengan semestinya.
Lantas apakah teori perkembangan psikologis ini sudah cukup untuk menjawab
pertanyaan di atas? Tentunya belum, masih banyak hal lain yang mendorong dan
melengkapi.
2. Sosial.
Selanjutnya dari
segi sosial. Sosial di sini saya maksudkan sebagai lingkungan sekitar tempat
anak tumbuh dan berkembang. Lingkungan dapat diurai lagi sebagai lingkungan
secara fisik maupun siapa saja individu yang berinteraksi dan mampu memberikan
pengaruh. Tidak semua orang tua setuju dengan kegiatan pacaran dimasa sekolah.
Namun tanpa kita sadari ada juga orang tua dengan dalih “ya memang zamannya
sekarang seperti itu, jadi anak kalau dilarang nanti malah membangkang” akhirnya
memberi izin secara halus untuk anaknya berpacaran walaupun dengan batasan yang
tegas.
Dorongan
selanjutnya diperkuat melalui lingkungan eksternal, yaitu apa yang remaja lihat
serta rasakan dari keadaan di sekitarnya. Lingkungan eksternal ini justru yang
memberi dukungan paling besar. Sebut saja banyaknya teman sebaya yang
berpacaran, acara televisi yang rasa-rasanya mengisyaratkan masa muda itu dipenuhi
rasa saling suka yang terpendam antar dua insan, bacaan cerita roman remaja,
bahkan mungkin sindiran bagi kaum jomblo yang saat ini bertebaran di dunia maya.
Semua itu seakan mengisyaratkan pacaran itu wajar kok.
Semua
indikator di atas dengan sempurna membentuk diagram lingkaran dengan besaran
prosentase masing-masing. Karena mereka belum mampu mengontrol rasa cinta yang
mereka miliki, pacaran usia pelajar ini tidak jarang diikuti dengan beberapa
hal yang justru lebih banyak tidak baiknya. Misalnya mereka yang berpacaran
diharuskan malam Mingguan, pergi makan, nonton bioskop, antar jemput pacar. Pernahkah
kalian berpikir kenapa ngapel itu
harus malam Minggu? Kenapa tidak hari lain? Ya ... karena zaman dulu lelaki
yang akan ke rumah pujaan hatinya selalu mencari waktu luang di luar kesibukan
pekerjaan. Karena hari Minggu libur, akhirnya malam Minggu deh waktu yang tepat. Jadi intinya zaman dahulu kegiatan semacam
pacaran hanya dilakukan oleh orang dewasa yang sudah bekerja, memiliki
penghasilan sendiri yang bisa digunakan untuk membelikan kado atau sekedar
traktiran makan untuk pujaan hatinya. Nah kalau konsep semacam itu diadopsi
anak-anak ingusan zaman sekarang, dapat uang dari mana? Orang tua kan
ujung-ujungnya. Terus kalau sudah seperti itu masih pantas gitu apa yang kalian
lakukan?
Belum
lagi kalau kemana-mana selalu berdua, minta selalu diperhatikan, bermesraan. Hal
semacam itu hanya pantas dilakukan oleh suami istri, selain pasangan yang sah
ya berarti dosa. Mungkin berawal dari merasa sebagai pacar saya berhak
merapikan poninya, berhak menggandeng tangannya, juga berhak memaksakan
kehendak. Kadang merasa geli membaca status anak-anak muda di media sosial
mereka yang setengah curcol karena berantem dengan pasangan gara-gara yang satu
suka maksa, yang satu gak mau nurut.
Benar-benar hubungan psikologis yang tidak sehat. Terkadang hal semacam ini
akhirnya berujung putus, sirna sudah harapan manis semasa pacaran. Tapi ibarat
peribahasa mati satu tumbuh seribu, seiring berjalannya waktu toh mereka
menemukan (lagi) tambatan hati baru.
Saya rasa dari semua hal di atas
tidak satu pun yang menyinggung tugas utama pelajar untuk belajar. Tugas utama
pelajar justru akan semakin terkesampingkan gara-gara fokus mereka sudah
beralih dari mengembangkan potensi ke menyenangkan pasangan. Satu-satunya orang
yang harus disenangkan saat ini adalah orang tua. Karena berkat pengorbanan mereka
berdua, kita bisa sampai di tahap ini. Makanya yuk kita resapi dulu,
menyenangkan hati orang tua itu jauh lebih utama dan jauh lebih mulia.
Jika di ilmu ekonomi kita mengenal
skala prioritas dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari, saya rasa skala priorotas
tersebut juga cocok kita terapkan dalam kehidupan pelajar Indonesia untuk hal
pacaran. Skala prioritas mengajarkan kita untuk dapat memilih, memilah dan
mengurutkan mana kebutuhan yang harus dipenuhi mulai dari kebutuhan yang paling
mendesak hingga kebutuhan yang tidak penting. Dalam proses pengurutan ini kita
akan menghadapi konflik antara kebutuhan dan keinginan.
Sama seperti kondisi para pelajar
Indonesia saat ini. Mereka harus dapat membedakan mana kebutuhan dalam menuntut
ilmu dan mana yang hanya bersifat sebagai keinginan. Jika dikaitkan dengan
perasaan ketertarikan mereka terhadap lawan jenis, perasaan ini timbulnya
alamiah dan bagian dari perkembangan remaja. Namun bukan berarti itu merupakan
salah satu alasan untuk melegalkan pacaran. Tapi itukan hak masing-masing? Yap
... benar sekali, itu merupakan hak masing-masing individu tapi kita harus
ingat bahwa tugas utama pelajar adalah belajar bukan pacaran.
Posisi generasi muda khususnya para
pelajar sangatlah penting bagi bangsa, karena kelak mereka akan menggantikan
generasi yang tua. Jadi jangan membuang waktu berharga kalian dengan drama
menyedihkan penuh tetesan air mata.
Rasa cinta dan ketertarikan kepada
lawan jenis adalah anugerah dari Yang Maha Kuasa dan itu suci. Jangan mengotori
kesucian cinta dengan nafsu untuk memiliki. Jodoh itu sudah di atur oleh Tuhan,
mereka tidak hanya ada di dalam pagar sekolah. Jodoh itu tersimpan rapi hingga
Tuhan menganggap kita sudah pantas untuk bertemu dengannya. Cinta itu
berhubungan langsung dengan hati, tetapi jangan lupa bahwa manusia selain
memiliki hati juga memiliki akal. Setidaknya itulah yang membedakan manusia
dengan mahluk yang lain.
Ibu pertiwi sudah muak dengan berita
penyimpangan seksual di luar nikah dan perilaku negatif lainnya. Ibu pertiwi
menunggu kontribusi nyata dari kalian para pelajar Indonesia. Selamat belajar
para pelajar Indonesia, jadilah pelajar yang cerdas.