Minggu, 24 November 2013

Kita Juga Pahlawan



            Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa para pahlawannya. Kalimat tersebut selalu menjadi tagline bulan November di negara Indonesia.
            Mereka mempunyai semangat dan tekad yang sungguh luar biasa dalam mempertahankan negara Indonesia hingga mereka rela mempertaruhkan nyawa. Pada era sekarang ini konsep pahlawan saya rasa tidak sesempit apa yang mereka lakukan zaman dahulu. Saat ini pahlawan adalah mereka yang mempunyai jiwa mengabdi untuk negara dan tanpa memikirkan apa yang akan mereka peroleh bahkan tanpa memikirkan apakah nantinya mereka akan dikenal atau tidak atas jasa-jasanya itu.
            Hari pahlawan saat ini sebaiknya bukan hanya dimaknai sekedar ceremonial belaka dengan mengadakan upacara bendera. Jika kita dapat bertanya kepada mereka para pahlawan yang telah gugur, mereka sebenarnya tidak menginginkan dihormati dengan sedemikian rupa. Mereka lebih memilih kita sebagai generasi penerus bangsa mampu memberikan hal yang lebih untuk bangsa Indonesia. Semangat perjuangan yang dahulu menggunakan otot sekarang telah bergeser menggunakan otak. Rasa nasionalisme yang tinggi serta fokus terhadap pembangunan bangsa.
            Para pahlawan memang tidak menginginkan dihormati dengan sedemikian rupa, tetapi upacara bendera adalah salah satu bukti bahwa kita menghormati dan menghargai mereka. Siapapun kita, setiap diri kita adalah pahlawan. Sekarang yang belum kita lakukan adalah membela dan membangun negara kita tercinta sesuai dengan apa yang kita miliki. Mereka semua menunggu langkah nyata kita untuk Indonesia.

Rabu, 07 Agustus 2013

Pintar Dunia dan Akhirat


       “Carilah ilmu walau sampai ke negeri Cina, karena sesungguhnya menuntut ilmu itu wajib bagi setiap muslim.” Penggalan hadist riwayat Ibnu Abdil Bar tersebut sangat jelas menunjukkan bahwa kewajiban setiap muslim adalah menuntut ilmu. Ilmu adalah gerbang utama dalam memerangi kebodohan. Berbekal ilmu pengetahuan, umat manusia dapat membangun peradaban yang sunguh sangat luar biasa. Namun dengan ilmu pula manusia dapat menghancurkan sebuah peradaban.
       Kewajiban dalam menuntut ilmu tersebut oleh pemerintah diejawantahkan melalui program wajib belajar (wajar) 9 tahun. Terbukti bahwa perkembangan pada tiap tahun dan tiap periodenya, kesadaran masyarakat Indonesia untuk menyekolahkan putra-putrinya semakin meningkat. Beberapa keluarga yang kurang mampu juga mendapatkan perhatian dari pemerintah berupa sekolah gratis melalui program bantuan operasional sekolah (BOS) dan beasiswa. Dirasa program wajar 9 tahun masih kurang, maka beberapa kepala daerah yang daerahnya dinilai mampu mulai menjalankan program wajar 12 tahun.
       Tidak berhenti di situ saja, saat ini pemerintah juga membidik agar angka masyarakat yang menyandang gelar sarjana jumlahnya semakin meningkat. Berbagai program mulai dirancang dari program biaya operasional perguruan tinggi negeri (BOPTN), beasiswa bidikmisi, hingga uang kuliah tunggal (UKT). Semua usaha tersebut tidak lain dan tidak bukan bertujuan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM) Indonesia melalui pendidikan.
       Dengan pendidikan yang baik dan dapat diakses oleh seluruh masyarakat Indonesia, maka akan menjadikan kualitas manusia yang unggul sehingga masyarakat dapat meningkat dari segi perekonomian serta kita tidak dipandang sebelah mata oleh negara lain. Berdiri di atas kaki sendiri (berdikari) itulah harapan para pendiri bangsa ini kepada para generasi penerusnya. Jika kita tinjau dari sisi Al-qur’anul karim, kita akan menemukan pada surat Al-mujadalah ayat 11 bahwa Allah akan meninggikan beberapa derajat (tingkatan) orang-orang yang beriman diantara kamu dan orang-orang yang berilmu (diberi ilmu pengetahuan).
       Dari ayat tersebut jelas bahwa orang yang berilmu (orang yang bersedia untuk menuntut ilmu) akan jauh jika dibandingkan dengan orang yang bermalas-malasan tidak mau untuk mempelajari ilmu pengetahuan. Peningkatan derajat tersebut dalam kehidupan dunia misalnya dalam hal rizqi yang diterimanya dan pekerjaan yang ia kerjakan untuk mencukupi kehidupan sehari-hari.
       Akan tetapi saya menilai bahwa oleh sebagian masyarakat terkait kewajiban dalam menuntut ilmu ini masih terdapat hal yang mengganjal: pertama, kata “ilmu” masih diartikan sebatas ilmu pengetahuan duniawi atau yang dipelajari di sekolah umum saja. Kedua, seiring dengan pengartian ilmu pada poin pertama maka seseorang biasanya akan berhenti menuntut ilmu saat ia sudah tidak lagi berada di bangku sekolah. Ketiga, semangat dalam menuntut ilmu yang terkadang hingga “setinggi langit” bukan didasari pada niatan beribadah atau hanya sekedar mengejar ketenaran dunia atau gelar belaka. Semua hal tersebut merupakan refleksi dari peristiwa di sekitar kita yang terkadang kita menjumpai seseorang yang bergelar tetapi perilakunya tidak sesuai dengan gelar yang telah dicapainya, atau seseorang yang bergelar tetapi dengan segala kepandaiannya ia justru merendahkan orang lain yang dianggapnya bodoh.
       Hakikat dari ilmu adalah segala sesuatu yang mampu memberikan nilai  tambah dalam kehidupan kita. Nilai inilah yang akan membedakan kita dengan manusia yang lainnya. Ilmu merupakan sebuah pasangan dari pemanfaatan karunia Allah SWT terhadap manusia yaitu otak. Seseorang yang menyadari bahwa otak fungsinya adalah untuk berpikir, maka ia akan selalu berhati-hati dalam setiap langkahnya di dunia. Dari pendeskripsian hakikat ilmu tersebut, jelas bahwa ilmu itu berada dekat di kehidupan manusia dan sangat erat dengan aktivitas manusia. Tanpa kita sadari, ilmu pengetahuan akan hadir dengan sendirinya saat kita melakukan perenungan terhadap diri kita. Maka segala pemikiran yang dilakukan manusia akan berujung pada Allah Yang Maha Kuasa. Dia-lah yang menciptakan kita dan Dia-lah yang mempunyai hak atas kita.
       Beberapa orang yang masih menilai bahwa ilmu adalah apa yang dipelajari di sekolah, sesungguhnya mereka itu adalah orang-orang yang belum menggunakan kemampuan otaknya secara maksimal. Segala hal di luar pengajaran sekolah, bagi mereka bukanlah sebuah ilmu. Ilmu bagi mereka adalah sarana untuk menggenggam kesuksesan masa depan. Maka tidak heran jika mereka sudah tidak lagi bersekolah, mereka tidak lagi mempelajari ilmu pengetahuan. Sesungguhnya ilmu itu tidak hanya sebatas pengetahuan matematis, biologis, alam dan sebagainya. Selain ilmu-ilmu tersebut juga terdapat ilmu agama. Ilmu yang mengajari manusia untuk mengenal siapa Tuhannya. Ilmu yang menjadikan manusia tidak sesumbar dengan apa yang dimilikinya, karena ia sadar sepenuhnya bahwa hidupnya adalah atas izin dan kehendak Allah.
       Ilmu inilah yang terkadang bagi beberapa masyarakat kita sering dinomor duakan. Padahal untuk mempelajari ilmu agama ini tidak harus bersusah payah mengikuti jenjang-jenjang pendidikan seperti di sekolah konvensional. Datang pada sebuah pengajian atau majlis ta’lim, mengaji dengan guru ngaji, mempelajari sifat-sifat dan asma-asma Allah. Semua itu termasuk dalam upaya kita untuk mempelajari ilmu akhirat.
       Disadari atau tidak, dalam hati manusia yang paling dalam terdapat sebuah ruang kosong yang tidak mampu diisi oleh segala macam ilmu pengetahuan. Ruang tersebut hanya mampu diisi oleh ilmu agama yang mampu melengkapi hati kita menjadi hati manusia yang seutuhnya.
       Salah seorang guru mengaji saya pernah mengatakan bahwa, manusia hidup di dunia ini jika hanya mempelajari ilmu dunia tanpa diimbangi dengan ilmu akhirat (agama) bagaikan kaki kiri yang melangkah tetapi tidak diikuti oleh kaki kanan. Ilmu agama ini pasti akan berguna bagi diri kita sendiri dan nantinya akan berguna bagi keluarga kita. Terutama bagi anak-anak kita yang akan menanyakan segala macam pengetahuan agama kepada kita orang tuanya. Lalu bagaimana jika anak-anak kita bertanya tentang ilmu agama dan kita sebagai orang tua tidak mampu menjawabnya? Akankah kita hanya pandai berkata saja, tanpa memberikan panduan yang nyata? Berwudlu, shalat, membaca Al-qur’an dengan ilmu tajwid merupakan hal yang tidak mungkin tidak kita ajarkan kepada anak-anak kita. Mari lengkapi langkah kita dengan ilmu dunia serta ilmu akhirat.

Senin, 08 Juli 2013

SMK Semakin Bisa!


            Tahun ajaran baru akan segera dimulai pertengahan bulan depan. Proses penerimaan peserta didik juga sudah berjalan. Setelah dinyatakan lulus, siswa SMP/MTs kini berjuang mendapatkan sekolah yang mereka idamkan.
            Siswa lulusan SMP/MTs yang akan melanjutkan kejenjang berikutnya dihadapkan pada dua pilihan antara sekolah umum (SMA/MA) atau sekolah kejuruan (SMK). Pemilihan kedua jenis sekolah tersebut sepenuhnya adalah hak dari orang tua dan anak. Memilih SMA atau SMK pada hakikatnya lebih dari sekedar menimbang-nimbang apakah kelak anak akan melanjutkan pendidikan keperguruan tinggi ataukah tidak, tetapi juga menimbang potensi yang dimiliki anak.
            Dilihat dari karakteristik pembelajarannya, SMA dan SMK jelas jauh berbeda. Pembelajaran di SMA kental dengan pendalaman tentang teori-teori, sedangkan SMK mempunyai sisi pembelajaran yang diarahkan lebih banyak praktek untuk menambah keterampilan. Hal ini berkaitan dengan desain SMK sebagai sekolah kejuruan yang mempersiapkan siswanya siap kerja.
            Terlalu sempit jika kita mengartikan siap kerja berarti jalur terakhir untuk menempuh pendidikan. Jenis pendidikan yang ada di Indonesia tidak hanya pendidikan formal saja, masih ada pendidikan non formal dan informal. Semangat untuk belajar jangan diputus begitu saja dengan predikat lulus. Guru dan orang tua harus mampu mendorong minat anak untuk selalu belajar dari manapun asalnya sumber ilmu tersebut.
Pemetaan Bakat
            Kebingungan yang dialami anak dan orang tua dalam menentukan jalur pendidikan yang akan dipilih salah satunya disebabkan kurangnya pengenalan terhadap potensi diri yang dimiliki oleh anak. Pemetaaan potensi diri ini sangat penting untuk mempersiapkan segala hal yang berhubungan dengan masa depan anak, seperti pendidikan dan profesi yang cocok kelak.
            Setiap anak lahir dan berkembang dengan potensi yang berbeda-beda. Potensi yang dimiliki anak perlu mendapatkan bimbingan yang tepat agar potensi tersebut dapat berkembang secara optimal. Namun sebelum kita mengembangkan potensi, kita harus tahu potensi apa yang dimiliki. Sayangnya sampai saat ini masih dijumpai orang tua yang kurang memperhatikan tentang penggalian potensi anak. Terkadang apa yang dipilihkan untuk anak terkesan karena keinginan dari orang tua, atau sudah sesuai keinginan anak tetapi tidak sesuai dengan potensi yang dimilikinya.
            Seandainya dari usia sekolah dasar perkembangan anak selalu dipantau, setidaknya usia SMP orang tua telah mampu menangkap potensi yang dimiliki anak. Sehingga pada saat anak lulus SMP mereka akan tahu kemana tujuan berikutnya, sekolah umum atau sekolah vokasi. Semakin dini orang tua mampu menemukan potensi anak, maka akan semakin bermanfaat pula dalam hal persiapan pengembangan potensi tersebut.
            SMK saat ini bukan lagi menjadi sekolah “nomor dua”. SMK merupakan tempat pengembangan bagi siswa yang memiliki kemampuan khusus. Hal yang perlu sekolah sadari adalah bagaimana membangun sistem pembelajaran SMK yang benar-benar mematangkan kemampuan khusus tersebut. Sehingga idealnya ketika lulusan SMK berminat memperdalam ilmunya ke perguruan tinggi, mereka akan memilih jurusan yang sejalur dengan program keahliannya di SMK. Sedangkan jika mereka orientasinya langsung bekerja, maka kemampuan yang mereka miliki sudah benar-benar matang dan menjadi pribadi yang berkualitas.
            Pemerintah saat ini banyak memberikan program subsidi dan beasiswa untuk melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi. Fasilitas tersebut harus dimanfaatkan oleh lulusan SMK yang berminat melanjutkan ke perguruan tinggi tetapi terkendala faktor biaya. Bagi mereka yang berniat terjun ke dunia kerja, dapat mengembangkan ilmunya melalui balai latihan kerja (BLK) yang terdapat di kota masing-masing.
            Jadi mau kuliah atau bekerja, SMK memberikan semua kesempatan tersebut. Jadilah orang yang spesialis, orang yang memahami ilmu pengetahuan secara mendalam. Hal terpenting adalah memelihara semangat agar selalu mengembangkan ilmu yang dimiliki.

Senin, 10 Juni 2013

Mengembangkan Ikon Wisata Lokal


            Pariwisata merupakan salah satu sektor penyumbang pendapatan asli daerah (PAD). Ketika kita membicarakan tentang pariwisata, terkadang kita masih berpatokan pada paradigma lama yaitu pariwisata merupakan sebuah anugerah alami berupa alam dan hasil peninggalan bersejarah. Alhasil bagi daerah yang memang tidak mempunyai dua hal tersebut menjadikan mereka tidak mempunyai sesuatu yang dapat “dijual”.
            Pariwisata hendaknya dapat dilihat dengan kaca mata yang lebih luas lagi. Saat ini banyak bermunculan konsep-konsep wisata yang tidak hanya bergantung pada alam dan bangunan bersejarah, contohnya wisata kuliner. Jenis wisata ini berkembang seiring dengan antusias wisatawan untuk mencicipi aneka makanan khas yang ada di daerah tersebut.
            Jawa tengah adalah provinsi yang berbatasan langsung dengan DI. Yogyakarta. Jika kita bandingkan dua daerah tersebut dalam hal area wisatanya, maka Yogyakarta masih mengungguli Jawa tengah. Terlepas dari banyaknya bangunan yang bernilai sejarah di Yogyakarta, saya menilai semangat mengembangkan area wisata di Yogyakarta sudah menjadi nafas utama pemerintah daerah dan masyarakatnya. Mereka menyadari bahwa Yogyakarta mempunyai banyak hal yang bernilai “jual” tinggi bagi para wisatawan. Selain itu industri kreatif juga bermunculan yang semakin melengkapi keceriaan para wisatawan saat berkunjung.
            Inilah yang perlu ditiru dan kita kembangkan di daerah kita. Perjalanan menuju dikenalnya ikon pariwisata memang merupakan perjalanan yang panjang dan tidak mudah. Memerlukan kreatifitas dan sensifitas yang tinggi dalam melihat peluang. Pariwisata sejatinya bukan hanya bagaimana menyajikan sesuatu yang bernilai bagi para wisatawan. Namun juga segala aspek pendukungnya juga perlu untuk diperhatikan.
            Kota Kudus lekat dengan sebutan kota wisata religi. Prosentase terbesar wisatawan yang mendatangi kota Kudus adalah para peziarah yang berziarah ke makam Sunan Muria dan Sunan Kudus. Keasrian lereng gunung Muria juga menjadi daya tarik tersendiri untuk para wisatawan. Di sana saat ini banyak dikembangkan tempat wisata kuliner dan water boom sebagai arena bermain. Jika Yogyakarta mempunyai candi dan Gudeg Wijilan, Kudus mempunyai Menara Kudus dan Lentog Tanjung.

Optimalisasi Pengelolaan
            Saya rasa dengan apa yang dimiliki Kudus saat ini, cukup untuk menjadikan Kudus salah sebagai satu destinasi wisata bagi para wisatawan. Hal selanjutnya yang perlu mendapatkan perhatian adalah terkait dengan kelangsungan area wisata tersebut. Pengelolaan yang baik harus diterapkan. Artinya karena wisata ini termasuk dalam bidang jasa, maka aspek kenyamanan dan kepuasan pengunjung harus selalu diperhatikan.
            Saya cukup miris melihat para peziarah yang berjalan kaki menuju ke makam Sunan Kudus, mungkin karena keterbatasan informasi mereka tidak mengetahui bahwa pihak pengelola telah menyediakan jalur khusus pejalan kaki yang lebih nyaman. Dari parkiran khusus Bus peziarah, mereka yang tidak menggunakan jasa becak dan ojek wisata berjalan kaki melewati jalan raya yang ramai kendaraan bermotor. Jalan raya ini tentunya tidak dilengkapi dengan trotoar untuk pejalan kaki. Dari hal ini setidaknya pengelola dapat menempatkan petugas untuk mengarahkan mereka melalui jalan khusus pejalan kaki yang benar atau dapat memberikan tanda pada jalan tersebut.
            Kemudian pada area wisata kuliner Lentog Tanjung apabila kembali ditata dan dirapikan maka akan lebih menarik lagi. Mungkin dapat ditambah dengan penghijauan yang lebih banyak, toilet, parkir mobil yang memadahi, bangunan yang diremajakan dan didesain secara artistik. Ini baru sebatas ide, tetapi mungkin suatu saat dapat direalisasikan: Kudus mempunyai tarian daerah yang disebut dengan tari Keretek. Mungkin tarian ini dapat dipentaskan di area wisata kuliner Lentog Tanjung pada hari Minggu pagi, tentunya dengan adanya panggung mini. Serta dapat diperkenalkan pula Batik Kudus dengan sebuah stand yang dibangun yang menarik minat pengunjung untuk belajar membatik.
            Segala usaha tersebut saya kira bukanlah hal yang berlebihan jika kita menginginkan ikon pariwisata daerah kita dikenal oleh banyak orang. Jika kemudian permasalahannya terletak pada anggaran yang tidak mencukupi, Kudus juga terkenal dengan kota industri. Banyak sekali perusahaan yang dapat digandeng oleh pemerintah daerah untuk bersama-sama mengembangkan ikon wisata kota Kudus.
            Kudus sebagai kota industri juga memungkinkan untuk menarik minat para mahasiswa dari beberapa perguruan tinggi untuk melakukan study tour ke perusahaan tersebut. Hal ini mengapa kemudian tidak dimanfaatkan dengan membuat semacam paket perjalanan wisata bagi para mahasiswa agar lebih mengenal Kudus. Selain ke perusahaan yang sudah berskala besar, Kudus mempunyai beberapa usaha seperti daerah UMKM produktif kain bordir Kudus di Desa Padurenan, batik Kudus, serta jenang Kudus.
            Pada akhirnya pengelolaan yang optimal menuntut seluruh pihak baik pemerintah daerah maupun para pelaku usaha untuk selalu berpikir kritis dan selalu melakukan inovasi. Sebuah area wisata tidak akan berlangsung lama jika inovasi tidak selalu diupayakan. Adanya perhatian penuh kepada wisatawan akan membuahkan hasil berupa kenyamanan dan kesan yang baik akan melekat sehingga kemungkinan untuk datang kembali dan word of mouth adalah hal yang pasti.
            Pemerintah daerah melalui dinas pariwisata setempat perlu menemukan inovasi dan pengelolaan yang tepat dalam membangun ikon wisata lokal, karena masih banyak area wisata yang lain yang menunggu untuk dikembangkan salah satunya yaitu situs purbakala di desa Terban. Upaya mengembangkan daerah wisata juga akan meningkatkan jumlah para entrepreneurship yang pandai melihat peluang. Jika setiap kepala daerah tanggap akan hal ini maka akan sejalur dengan semangat Gubernur Jateng yang baru dalam mengembangkan ikon wisata lokal sehingga program visit Jateng tahun depan semakin terasa greget-nya seperti apa yang mereka ungkapkan di salah satu program debat calon gubernur dan wakil gubernur beberapa saat yang lalu.

Senin, 27 Mei 2013

Geliat Politik Uang


            Pemilihan umum kepala daerah (pemilukada) dilaksanakan setiap lima tahun sekali. Setiap itu pula akan selalu hadir semboyan no money politic. Banyak yang menyebutkan bahwa masyarakat kita sekarang adalah masyarakat yang cerdas, artinya terkait dengan pembelajaran berpolitik mereka telah memiliki pendirian yang kokoh dan tidak mudah dipengaruhi hanya dengan sejumlah uang.
            Pendapat tersebut ada benarnya. Namun saya rasa kita perlu lebih jeli dan teliti lagi dalam memahami hal tersebut. Pasalnya masyarakat kita mempunyai karakteristik yang heterogen baik itu dari segi pendidikan maupun ekonomi. Dari kedua faktor tersebut kemudian akan membentuk pola pikir yang berbeda antar satu masyarakat dan yang lainnya.
            Puncak ketegangan selalu hadir saat hari terakhir menjelang pemilihan. Kita tidak dapat menutup mata dan dengan bangga mengatakan bahwa pemilu kali ini atau pemilu sebelum-sebelumnya seratus persen bebas dari politik uang. Politik uang sampai sekarang masih dinilai sebagai senjata ampuh untuk mempengaruhi serta membujuk masyarakat khususnya masyarakat di daerah pelosok dan kalangan bawah. Kegiatan ini kalau boleh saya menyebutnya sebagai gerakan “bawah tanah” yang tidak tampak di permukaan namun di sisi lain kegiatan ini terus berjalan.
            Inilah yang saya katakan sebagai perbedaan karakteristik dalam masyarakat. Bagi masyarakat di perkotaan mungkin saja aroma money politic tidak sekental ketika kita berada di pedesaan. Bahkan rutinitas kotor ini melahirkan sebuah hal yang dianggap biasa dan oleh beberapa orang seakan menjadi hal yang dinantikan. Pemilukada merupakan waktu untuk  menunggu pembagian uang. Bahkan hal yang paling parah adalah tidak pergi ke tempat pemungutan suara (TPS) karena tidak adanya calon yang membagikan uang.
            Melihat hal ini saya memiliki dua sisi pandang. Pertama, calon yang melakukan praktik money politic adalah calon yang tidak siap untuk kalah. Siap untuk kalah? Kalimat tersebut seakan merupakan sebuah lelucon belaka, karena semua orang yang maju dalam pencalonan pasti mengharapkan dirinya menang. Faktanya kita hanya membutuhkan satu pasang calon saja sebagai pemimpin, itu berarti yang lain hanya akan mendapat gelar juara kedua dan seterusnya.
            Kedua, niat pencalonan diri belum sepenuhnya mengarah kepada kepentingan membangun daerah. Kepentingan membangun daerah hanya digunakan sebagai dasar semu untuk menutupi kepentingan lain yang lebih besar. Karena jika dilogikakan, niat tulus membangun daerah tidak akan dimulai dengan membohongi masyarakat yang kelak akan dipimpinnya.
            Saya rasa untuk saat ini yang perlu mendapatkan perhatian lebih adalah masyarakat kelompok bawah. Karena bagi kelompok masyarakat menengah ke atas, mereka telah mampu memilih sesuai dengan apa yang mereka inginkan. Kelompok bawah selalu menjadi sasaran empuk kegiatan money politic, tetapi jangan salahkan mereka. Mereka menerima uang tersebut karena memang dengan keadaanya saat ini mereka membutuhkan uang itu untuk mencukupi kebutuhan.
            Dalam hal ini netralitas dari seluruh kalangan sangat dibutuhkan, tidak hanya pegawai negeri sipil (PNS) saja yang harus dituntut untuk netral. Saya justru berpikir netralitas tersebut juga harus tercipta bagi mereka tokoh masyarakat. Terkadang masyarakat berubah menjadi fanatik karena para tokoh masyarakatnya mengusung calon yang berbeda. Dibutuhkan sosok tokoh masyarakat yang mampu membangun pemahaman yang tepat di sekitar lingkungan tempat tinggalnya.
            Ditambah dengan peran pemerintah desa yaitu kepala desa, ketua RW bahkan sampai ketua RT jika mereka mampu menyatu dengan warganya dan perlahan memberikan pemahaman yang benar maka tidak mustahil masyarakat yang ada di daerahnya akan menjalankan pemilukada dengan penuh tanggung jawab.
            Komitmen inilah yang sampai sekarang masih saya nilai kurang. Terutama komitmen dari para calon dalam menghapus kegiatan money politic dari agenda menuju singgasana. Justru komitmen dari merekalah yang paling diharapkan, karena jika mereka sebagai orang yang diusung dengan tegas menolak hal tersebut dan direalisasikan kedalam aksi nyata, maka bersihlah pemilukada dari kegiatan money politic.
            Gembar-gembor no money politic hanya terdengar dari corong komisi pemilihan umum (KPU). Bahkan KPU sendiri telah menyediakan jalur pengaduan bagi masyarakat yang ingin menyampaikan jika mereka mengetahui terdapat calon yang melakukan kegiatan money politic. Tetapi sekali lagi, hal ini jarang dimanfaatkan oleh masyarakat karena mereka menganggap hal ini sudah lumrah terjadi setiap ada pemilukada.
            Iklan himbauan kepada masyarakat baik melalui media elektronik maupun cetak memang diperlukan. Namun jangan sampai dilupakan bahwa himbauan tersebut hanya akan menjadi sekedar himbauan jika tidak ada upaya penanaman bahwa pemilukada adalah tanggung jawab kita semua. Kesadaran dan kemandirian dalam berpolitik harus mampu dibangun pada setiap insan tanpa memandang derajat.