Selasa, 07 Februari 2017

Pelayanan Prima dalam Pelayanan Publik


            Berita gubernur Jambi yang melakukan inspeksi mendadak pada sebuah rumah sakit di Jambi, sepertinya menjadi buah bibir masyarakat menutup penghujung bulan Januari. Dalam inspeksinya gubernur Jambi menyampaikan bahwa pihaknya banyak menerima keluhan dari masyarakat terkait kesiapan pelayanan di rumah sakit tersebut. Tanggapan masyarakat cukup beragam, ada yang mengapresiasi dan ada pula yang mengkritisi. Sedikit bernostalgia, hal yang sama juga pernah dilakukan oleh gubernur Jawa Tengah dalam menguak fenomena pungutan liar yang terjadi di jembatan timbang pantura April 2014 silam.
            Ombudsman Republik Indonesia (ORI) sebagai lembaga negara yang bertugas mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik, merilis hasil penelitian tentang kepatuhan pemerintah pusat dan daerah terhadap standar pelayanan publik tahun 2016. Dari 33 provinsi 39,99% terkategori sebagai zona hijau atau predikat kepatuhan tinggi; 39,39% terkategori zona kuning atau predikat kepatuhan sedang; lalu sisanya 21,21% terkategori sebagai zona merah atau predikat kepatuhan rendah. Jawa Tengah sendiri menduduki peringkat kesembilan pada zona hijau, dengan urutan pertama yaitu Jawa Timur.
            Sejak tahun 2015 ORI telah memetakan peningkatan pelayanan publik, pada tahun 2016 zona hijau pemerintah provinsi ditargetkan sebesar 70%. Dari penelitian tersebut diketahui komponen standar pelayanan yang sering dilanggar adalah hak masyarakat untuk mendapatkan informasi yang cepat dan transparan, serta kurang jelasnya alur pemberian masukan atau pengaduan terkait penyelenggaraan pelayanan. Hal yang dapat kita garis bawahi adalah, pelayanan prima yang banyak menjadi tagline instansi ternyata sesuatu yang sulit untuk dicapai.
            Sebagai instansi yang berhubungan dengan kepentingan masyarakat luas, pelayanan prima mutlak untuk diterapkan. Konsep pelayanan prima adalah memberikan pelayanan yang terbaik untuk pelanggan sehingga pelanggan merasa tidak dikecewakan. Penerapan pelayanan prima diawali dengan penetapan standar pelayanan. Standar pelayanan ini digunakan sebagai pedoman pelayanan sekaligus tolok ukur penilaian kualitas layanan. Pedoman penyusunan standar pelayanan termuat dalam Permen PANRB nomor 15 tahun 2014.
            Saya yakin setiap instansi sudah memiliki standar pelayanan yang baku, hal ini dapat kita amati biasanya ruangan pelayanan terdapat poster yang memuat informasi alur pelayanan beserta petugas yang siap untuk memberikan penjelasan prosedur pelayanan. Jika standar pelayanan kita ibaratkan sebagai sebuah alat, maka alat ini akan berfungsi sebagaimana mestinya jika pengguna mempergunakan dengan baik, begitu pula sebaliknya.
Sumber Daya Manusia
            Dimensi pelayanan prima dalam pelayanan publik memuat tentang ketepatan waktu pelayanan, akurasi, sikap pemberi layanan, jumlah petugas, ketersediaan sarana dan prasarana serta tanggung jawab dalam penanganan keluhan (Mukarom, 2015). Pada suatu waktu kita pernah merasa kurang puas dengan pelayanan sebuah instansi karena pelayanan petugas yang tidak ramah dan pelayanan lamban. Inilah mengapa standar pelayanan yang sudah dimiliki harus didukung dengan sumber daya manusia (SDM) yang mumpuni. Man behind the gun.
             Petugas pelayanan merupakan eksekutor lapangan. Mereka adalah orang yang berhadapan langsung dengan pelanggan, bahkan dari petugas inilah pelanggan akan memberikan penilaian atas pelayanan yang diperolehnya. Petugas bagian pelayanan harus memiliki kepribadian cekatan, teliti, sabar, ramah, berpenampilan rapi serta mampu berkomunikasi dengan baik.
            Aspek SDM rupanya menjadi kunci utama dalam hal pelayanan prima. Selain kualitas kepribadian, petugas pelayanan juga harus menyadari peran dan tanggung jawabnya. Untuk mendorong terciptanya SDM bidang pelayanan yang berkualitas, pihak manajemen memiliki tugas untuk mendesain administrative expert yang meliputi sistem seleksi, training, pengembangan, penghargaan kinerja serta pengelolaan SDM yang baik (Ulrich, 1997).
            Terlihat jelas bahwa keberhasilan sebuah pelayanan tidak hanya bergantung pada ada atau tidaknya standar pelayanan, tetapi juga dipengaruhi oleh SDM dan desain dari pihak manajemen. Pada tahap selanjutnya instansi harus memiliki program pengawasan terhadap pelaksanaan pelayanan. Pengawasan salah satunya dapat diwujudkan dalam bentuk survey kepuasan masyarakat seperti yang diamanatkan dalam Permen PANRB nomor 16 tahun 2014, survey minimal dilakukan setahun sekali. Hasil penelitian ORI mengungkap sebanyak 60,73% instansi tidak melakukan survey kepuasan masyarakat. Ini semakin memperkuat asumsi standar pelayanan yang telah disusun tidak diimbangi dengan usaha pengawasan.

Tentunya hal-hal peningkatan pelayanan prima semacam ini tidak terbatas hanya dilakukan oleh instansi pemerintah saja, instansi apa pun yang berkaitan dengan pelayanan publik sebagai kegiatan utama perlu untuk memikirkan dan menerapkan konsep pelayanan prima. Pelayanan prima merupakan komitmen bersama, karena kita adalah apa yang pelanggan rasakan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar