Tampilkan postingan dengan label Nadiem Makarim. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Nadiem Makarim. Tampilkan semua postingan

Minggu, 08 Desember 2019

Naskah Pidato Mas Nadiem yang Sungguh Tak Pejabatable



            Hari ini 25 November 2019 adik-adik saya sudah ribut sejak pagi. Sejak tadi malam bahkan, mereka minta untuk dibangunkan lebih awal karena esok akan bertugas sebagai komandan barisan, itu yang SD. Adik yang SMA sibuk mencetak lembaran kertas, katanya lembar penilaian lomba kelas. Maklum anak OSIS.
            Diantara sekian kesibukan mereka, warganet sudah lebih dulu sibuk menggibah naskah pidato Mas Menteri Nadiem yang spektakuler, katanya.
            Bagaimana tidak membuat orang terjengkang. Naskah pidato itu hanya dua halaman, kalimatnya pendek-pendek pula. Ini naskah Mas Menteri kalau dilihat dosenku yang suka nyuruh buat esai analisis studi kasus, pasti bakal dibalikin sambil dibisikin, kalau nulis yang niat. Bhaaa ......zheng!
Ingatan saya langsung berputar menuju 5 tahun silam, saat upacara hari penting (lupa hari apaan) kelas 2 SMA. Guru yang bertugas sebagai pembina upacara, ketika membacakan naskah pidato salah seorang pejabat. Beliau sampai terbatuk-batuk saat membacanya. Celakanya, naskah pidato itu masih juga belum khatam separuhnya.
Pantas saja kalau naskah pidato Mas Menteri jadi gibahan senusantara. Dibaca paling juga tak sampai 2 menit. Upacara berlangsung cepat, khidmat, murid senang.
Naskah tersingkat yang pernah ada dalam sejarah pernaskahan pejabat Indonesia.
Kata-kata Mas Menteri ini mengandung muatan ajakan untuk bergerak. Sebelas dua belaslah sama Budi Setiawan yang menyadarkan mengajak jutaan anak muda untuk berinvestasi.
Kesamaan antara Mas Menteri dan Mas Budi Setiawan adalah, sama-sama berlatar belakang bidang bisnis. Dimana, pekerjaan mereka memprospek orang. Ujaran retorika, tak berguna dalam kamus mereka. Mereka benar-benar memanfaatkan teori komunikasi, yang penting pesan tersampaikan.
Pesan yang ingin disampaikan Mas Menteri dalam naskah pidatonya, ingin mewujudkan perubahan melalui kemerdekaan dalam belajar.
Hah? Merdeka dalam belajar?!!
Ini maksudnya tiap hari kelas kosong gak ada gurunya gitu??
Yeee ..... Kagak gitu juga kaleee Bambang!!!
Membicarakan hari guru, memaksa kita untuk mengenang memori zaman sekolah. Diantara memori berkasih dengan mantan, ada juga ingatan tentang bagaimana kita berkawan, atau ujian yang bocor dari kelas sebelah, termasuk beliau guru-guru kita.
Saya ingat betul, bagaimana saya bisa habis-habisan mencintai sebuah mata pelajaran, hanya karena gurunya enak cara mengajarnya.
Sebaliknya, saya juga ingat betul bagaimana saya bisa habis-habisan membenci mata pelajaran, hanya karena tidak suka dengan gaya mengajar guru. Hingga rasa-rasanya bawaannya takut, tertekan saat pelajaran berlangsung.
Boro-boro, lha wong ingat besok ada mapelnya saja badan auto limbung. Persis kayak pekerja kelas bawah, menghadapi kenyataan kalau besok hari Senin.
Ternyata belajar semenegangkan gitu, sis!
Eh, atau malah yang seperti itu bukan belajar ya!
Nganu, Jeng! Kalau mau merunut para pemikir macam Jean Piaget, John Locke, John Dewey, Paulo Freire, belajar itu lumrahnya berlangsung secara beragam sehingga rileks. Wong belajar itu membutuhkan kesadaran je. Yang merasa membutuhkan pengetahuan, akan mencari seseorang yang ahli dan bisa menjelaskan sebab musabab terjadinya hal tersebut.
Kalau dalam konteksnya Ki Hadjar Dewantoro beliau menyebut Tri Sentra Pendidikan, tiga pusat pendidikan. Pendidikan itu berlangsung di tiga lingkungan, keluarga, sekolah dan masyarakat.
Tapi sayangnya ditempat kita, kalau ada sekolah yang seperti itu, justru dipandang sebagai sekolah yang superior, hebat, luar biasa, kelas wahid. Ujung-ujungnya biayanya mahal.
Mungkin ini yang disebut sebagai fenomena antimainstream yang seharusnya mainstream.
Jadi ... kalau tadi belajar itu disebut proses menambah kapasitas diri dengan penuh kesadaran, bisa dengan siapa saja, tak terbatas waktu dan tempat. Maka sudah seharusnya proses pembelajaran di sekolah, kita bisa mengeksplorasi lingkungan sekitar yang bisa digunakan untuk belajar dan setiap siswa terbangun gairah belajarnya dengan menemukan potensi diri.
Tapi ... kebanyakan sekolah, menyajikan paket cepat saji. Sudah lumrah persekolahan itu dimulai jam sekian dan berakhir jam sekian dalam ruangan, lingkungan yang dibatasi tembok, buku menjadi sumber utama pembelajaran, nilai angka sebagai patokan keberhasilan.
Berdalih ketidak puasan orang tua dengan layanan pendidikan, beberapa lembaga yang kelewat kreatif memanfaatkan situasi, melihat ini sebagai peluang bisnis.
Maka lahirlah sebutan “sekolah plus” dengan berbagai macam program unggulannya. Sebut saja program belajar di luar kelas, belajar dengan memperhatikan minat bakat, belajar dengan metode menyenangkan, pengembangan leadership, pengembangan komunikasi, program bla bla bla ....
Halah – halah ... itu semuakan inti dari belajar. Semua sekolah, semua pendidikan prosesnya harus seperti itu.
Ini tuh, sebenernya kita yang gak paham, apa kita yang dikibulin yak?!!
Ih sebel bats akutu!
Luar biasanya sekolah model seperti ini, mahalnya selangit, dan laku.
Kalau seperti ini terus, bagaimana kita menyikapi fenomena interview kerja tanpa melihat IPK, atau ekstrimnya kerja tanpa melihat ijazah, yang saat ini sudah mulai kita jumpai.
Katanya kita sedang mempersiapkan bonus demografi, masak sih hanya sepersekian anak muda kaya saja yang bisa menikmati pembelajaran kreatif.
Ya sudahlah, yang penting tahap awal untuk menarik perhatian sukses, menjadi bahan perbincangan tentu menjadi iklan gratis. Mas Budi Nadiem memang jago pekara dunia digital.
--0--