Hari ini 25 November 2019 adik-adik saya sudah ribut
sejak pagi. Sejak tadi malam bahkan, mereka minta untuk dibangunkan lebih awal
karena esok akan bertugas sebagai komandan barisan, itu yang SD. Adik yang SMA
sibuk mencetak lembaran kertas, katanya lembar penilaian lomba kelas. Maklum
anak OSIS.
Diantara
sekian kesibukan mereka, warganet sudah lebih dulu sibuk menggibah naskah
pidato Mas Menteri Nadiem yang spektakuler, katanya.
Bagaimana
tidak membuat orang terjengkang. Naskah pidato itu hanya dua halaman,
kalimatnya pendek-pendek pula. Ini naskah Mas Menteri kalau dilihat dosenku
yang suka nyuruh buat esai analisis studi kasus, pasti bakal dibalikin sambil
dibisikin, kalau nulis yang niat. Bhaaa ......zheng!
Ingatan saya langsung berputar menuju 5 tahun silam, saat
upacara hari penting (lupa hari apaan) kelas 2 SMA. Guru yang bertugas sebagai
pembina upacara, ketika membacakan naskah pidato salah seorang pejabat. Beliau
sampai terbatuk-batuk saat membacanya. Celakanya, naskah pidato itu masih juga
belum khatam separuhnya.
Pantas saja kalau naskah pidato Mas Menteri jadi gibahan
senusantara. Dibaca paling juga tak sampai 2 menit. Upacara berlangsung cepat,
khidmat, murid senang.
Naskah tersingkat yang pernah ada dalam sejarah
pernaskahan pejabat Indonesia.
Kata-kata Mas Menteri ini mengandung muatan ajakan untuk
bergerak. Sebelas dua belaslah sama Budi Setiawan yang menyadarkan mengajak
jutaan anak muda untuk berinvestasi.
Kesamaan antara Mas Menteri dan Mas Budi Setiawan adalah,
sama-sama berlatar belakang bidang bisnis. Dimana, pekerjaan mereka memprospek
orang. Ujaran retorika, tak berguna dalam kamus mereka. Mereka benar-benar
memanfaatkan teori komunikasi, yang penting pesan tersampaikan.
Pesan yang ingin disampaikan Mas Menteri dalam naskah
pidatonya, ingin mewujudkan perubahan melalui kemerdekaan dalam belajar.
Hah? Merdeka dalam belajar?!!
Ini maksudnya tiap hari kelas kosong gak ada gurunya
gitu??
Yeee ..... Kagak gitu juga kaleee Bambang!!!
Membicarakan hari guru, memaksa kita untuk mengenang
memori zaman sekolah. Diantara memori berkasih dengan mantan, ada juga ingatan
tentang bagaimana kita berkawan, atau ujian yang bocor dari kelas sebelah,
termasuk beliau guru-guru kita.
Saya ingat betul, bagaimana saya bisa habis-habisan
mencintai sebuah mata pelajaran, hanya karena gurunya enak cara mengajarnya.
Sebaliknya, saya juga ingat betul bagaimana saya bisa
habis-habisan membenci mata pelajaran, hanya karena tidak suka dengan gaya
mengajar guru. Hingga rasa-rasanya bawaannya takut, tertekan saat pelajaran
berlangsung.
Boro-boro, lha wong ingat besok ada mapelnya saja badan
auto limbung. Persis kayak pekerja kelas bawah, menghadapi kenyataan kalau
besok hari Senin.
Ternyata belajar semenegangkan gitu, sis!
Eh, atau malah yang seperti itu bukan belajar ya!
Nganu, Jeng! Kalau mau merunut para pemikir macam Jean
Piaget, John Locke, John Dewey, Paulo Freire, belajar itu lumrahnya berlangsung
secara beragam sehingga rileks. Wong belajar itu membutuhkan kesadaran je. Yang
merasa membutuhkan pengetahuan, akan mencari seseorang yang ahli dan bisa
menjelaskan sebab musabab terjadinya hal tersebut.
Kalau dalam konteksnya Ki Hadjar Dewantoro beliau
menyebut Tri Sentra Pendidikan, tiga pusat pendidikan. Pendidikan itu
berlangsung di tiga lingkungan, keluarga, sekolah dan masyarakat.
Tapi sayangnya ditempat kita, kalau ada sekolah yang
seperti itu, justru dipandang sebagai sekolah yang superior, hebat, luar biasa,
kelas wahid. Ujung-ujungnya biayanya mahal.
Mungkin ini yang disebut sebagai fenomena antimainstream yang seharusnya mainstream.
Jadi ... kalau tadi belajar itu disebut proses menambah
kapasitas diri dengan penuh kesadaran, bisa dengan siapa saja, tak terbatas
waktu dan tempat. Maka sudah seharusnya proses pembelajaran di sekolah, kita
bisa mengeksplorasi lingkungan sekitar yang bisa digunakan untuk belajar dan
setiap siswa terbangun gairah belajarnya dengan menemukan potensi diri.
Tapi ... kebanyakan sekolah, menyajikan paket cepat saji.
Sudah lumrah persekolahan itu dimulai jam sekian dan berakhir jam sekian dalam
ruangan, lingkungan yang dibatasi tembok, buku menjadi sumber utama
pembelajaran, nilai angka sebagai patokan keberhasilan.
Berdalih ketidak puasan orang tua dengan layanan
pendidikan, beberapa lembaga yang kelewat kreatif memanfaatkan situasi, melihat
ini sebagai peluang bisnis.
Maka lahirlah sebutan “sekolah plus” dengan berbagai
macam program unggulannya. Sebut saja program belajar di luar kelas, belajar
dengan memperhatikan minat bakat, belajar dengan metode menyenangkan, pengembangan
leadership, pengembangan komunikasi, program
bla bla bla ....
Halah – halah ... itu semuakan inti dari belajar. Semua
sekolah, semua pendidikan prosesnya harus seperti itu.
Ini tuh, sebenernya kita yang gak paham, apa kita yang
dikibulin yak?!!
Ih sebel bats akutu!
Luar biasanya sekolah model seperti ini, mahalnya
selangit, dan laku.
Kalau seperti ini terus, bagaimana kita menyikapi
fenomena interview kerja tanpa
melihat IPK, atau ekstrimnya kerja tanpa melihat ijazah, yang saat ini sudah mulai
kita jumpai.
Katanya kita sedang mempersiapkan bonus demografi, masak
sih hanya sepersekian anak muda kaya saja yang bisa menikmati
pembelajaran kreatif.
Ya sudahlah, yang penting tahap awal untuk menarik
perhatian sukses, menjadi bahan perbincangan tentu menjadi iklan gratis. Mas Budi
Nadiem memang jago pekara dunia digital.
--0--