Pariwisata merupakan salah satu
sektor penyumbang pendapatan asli daerah (PAD). Ketika kita membicarakan
tentang pariwisata, terkadang kita masih berpatokan pada paradigma lama yaitu
pariwisata merupakan sebuah anugerah alami berupa alam dan hasil peninggalan
bersejarah. Alhasil bagi daerah yang memang tidak mempunyai dua hal tersebut
menjadikan mereka tidak mempunyai sesuatu yang dapat “dijual”.
Pariwisata hendaknya dapat dilihat
dengan kaca mata yang lebih luas lagi. Saat ini banyak bermunculan
konsep-konsep wisata yang tidak hanya bergantung pada alam dan bangunan
bersejarah, contohnya wisata kuliner. Jenis wisata ini berkembang seiring
dengan antusias wisatawan untuk mencicipi aneka makanan khas yang ada di daerah
tersebut.
Jawa tengah adalah provinsi yang
berbatasan langsung dengan DI. Yogyakarta. Jika kita bandingkan dua daerah
tersebut dalam hal area wisatanya, maka Yogyakarta masih mengungguli Jawa
tengah. Terlepas dari banyaknya bangunan yang bernilai sejarah di Yogyakarta,
saya menilai semangat mengembangkan area wisata di Yogyakarta sudah menjadi
nafas utama pemerintah daerah dan masyarakatnya. Mereka menyadari bahwa
Yogyakarta mempunyai banyak hal yang bernilai “jual” tinggi bagi para
wisatawan. Selain itu industri kreatif juga bermunculan yang semakin melengkapi
keceriaan para wisatawan saat berkunjung.
Inilah yang perlu ditiru dan kita
kembangkan di daerah kita. Perjalanan menuju dikenalnya ikon pariwisata memang
merupakan perjalanan yang panjang dan tidak mudah. Memerlukan kreatifitas dan
sensifitas yang tinggi dalam melihat peluang. Pariwisata sejatinya bukan hanya
bagaimana menyajikan sesuatu yang bernilai bagi para wisatawan. Namun juga
segala aspek pendukungnya juga perlu untuk diperhatikan.
Kota Kudus lekat dengan sebutan kota
wisata religi. Prosentase terbesar wisatawan yang mendatangi kota Kudus adalah
para peziarah yang berziarah ke makam Sunan Muria dan Sunan Kudus. Keasrian
lereng gunung Muria juga menjadi daya tarik tersendiri untuk para wisatawan. Di
sana saat ini banyak dikembangkan tempat wisata kuliner dan water boom sebagai arena bermain. Jika Yogyakarta
mempunyai candi dan Gudeg Wijilan, Kudus mempunyai Menara Kudus dan Lentog
Tanjung.
Optimalisasi Pengelolaan
Saya rasa dengan apa yang dimiliki
Kudus saat ini, cukup untuk menjadikan Kudus salah sebagai satu destinasi
wisata bagi para wisatawan. Hal selanjutnya yang perlu mendapatkan perhatian
adalah terkait dengan kelangsungan area wisata tersebut. Pengelolaan yang baik
harus diterapkan. Artinya karena wisata ini termasuk dalam bidang jasa, maka aspek
kenyamanan dan kepuasan pengunjung harus selalu diperhatikan.
Saya cukup miris melihat para
peziarah yang berjalan kaki menuju ke makam Sunan Kudus, mungkin karena
keterbatasan informasi mereka tidak mengetahui bahwa pihak pengelola telah
menyediakan jalur khusus pejalan kaki yang lebih nyaman. Dari parkiran khusus
Bus peziarah, mereka yang tidak menggunakan jasa becak dan ojek wisata berjalan
kaki melewati jalan raya yang ramai kendaraan bermotor. Jalan raya ini tentunya
tidak dilengkapi dengan trotoar untuk pejalan kaki. Dari hal ini setidaknya
pengelola dapat menempatkan petugas untuk mengarahkan mereka melalui jalan
khusus pejalan kaki yang benar atau dapat memberikan tanda pada jalan tersebut.
Kemudian pada area wisata kuliner
Lentog Tanjung apabila kembali ditata dan dirapikan maka akan lebih menarik
lagi. Mungkin dapat ditambah dengan penghijauan yang lebih banyak, toilet, parkir
mobil yang memadahi, bangunan yang diremajakan dan didesain secara artistik. Ini
baru sebatas ide, tetapi mungkin suatu saat dapat direalisasikan: Kudus
mempunyai tarian daerah yang disebut dengan tari Keretek. Mungkin tarian ini
dapat dipentaskan di area wisata kuliner Lentog Tanjung pada hari Minggu pagi,
tentunya dengan adanya panggung mini. Serta dapat diperkenalkan pula Batik
Kudus dengan sebuah stand yang
dibangun yang menarik minat pengunjung untuk belajar membatik.
Segala usaha tersebut saya kira
bukanlah hal yang berlebihan jika kita menginginkan ikon pariwisata daerah kita
dikenal oleh banyak orang. Jika kemudian permasalahannya terletak pada anggaran
yang tidak mencukupi, Kudus juga terkenal dengan kota industri. Banyak sekali
perusahaan yang dapat digandeng oleh pemerintah daerah untuk bersama-sama mengembangkan
ikon wisata kota Kudus.
Kudus sebagai kota industri juga
memungkinkan untuk menarik minat para mahasiswa dari beberapa perguruan tinggi
untuk melakukan study tour ke
perusahaan tersebut. Hal ini mengapa kemudian tidak dimanfaatkan dengan membuat
semacam paket perjalanan wisata bagi para mahasiswa agar lebih mengenal Kudus. Selain
ke perusahaan yang sudah berskala besar, Kudus mempunyai beberapa usaha seperti
daerah UMKM produktif kain bordir Kudus di Desa Padurenan, batik Kudus, serta
jenang Kudus.
Pada akhirnya pengelolaan yang
optimal menuntut seluruh pihak baik pemerintah daerah maupun para pelaku usaha
untuk selalu berpikir kritis dan selalu melakukan inovasi. Sebuah area wisata
tidak akan berlangsung lama jika inovasi tidak selalu diupayakan. Adanya
perhatian penuh kepada wisatawan akan membuahkan hasil berupa kenyamanan dan
kesan yang baik akan melekat sehingga kemungkinan untuk datang kembali dan word of mouth adalah hal yang pasti.
Pemerintah daerah melalui dinas
pariwisata setempat perlu menemukan inovasi dan pengelolaan yang tepat dalam
membangun ikon wisata lokal, karena masih banyak area wisata yang lain yang
menunggu untuk dikembangkan salah satunya yaitu situs purbakala di desa Terban.
Upaya mengembangkan daerah wisata juga akan meningkatkan jumlah para entrepreneurship yang pandai melihat
peluang. Jika setiap kepala daerah tanggap akan hal ini maka akan sejalur
dengan semangat Gubernur Jateng yang baru dalam mengembangkan ikon wisata lokal
sehingga program visit Jateng tahun
depan semakin terasa greget-nya
seperti apa yang mereka ungkapkan di salah satu program debat calon gubernur
dan wakil gubernur beberapa saat yang lalu.