“Carilah ilmu walau sampai ke negeri Cina, karena sesungguhnya
menuntut ilmu itu wajib bagi setiap muslim.” Penggalan hadist riwayat Ibnu Abdil
Bar tersebut sangat jelas menunjukkan bahwa kewajiban setiap muslim adalah
menuntut ilmu. Ilmu adalah gerbang utama dalam memerangi kebodohan. Berbekal
ilmu pengetahuan, umat manusia dapat membangun peradaban yang sunguh sangat
luar biasa. Namun dengan ilmu pula manusia dapat menghancurkan sebuah
peradaban.
Kewajiban dalam menuntut ilmu tersebut oleh pemerintah
diejawantahkan melalui program wajib belajar (wajar) 9 tahun. Terbukti bahwa
perkembangan pada tiap tahun dan tiap periodenya, kesadaran masyarakat
Indonesia untuk menyekolahkan putra-putrinya semakin meningkat. Beberapa
keluarga yang kurang mampu juga mendapatkan perhatian dari pemerintah berupa
sekolah gratis melalui program bantuan operasional sekolah (BOS) dan beasiswa.
Dirasa program wajar 9 tahun masih kurang, maka beberapa kepala daerah yang
daerahnya dinilai mampu mulai menjalankan program wajar 12 tahun.
Tidak berhenti di situ saja, saat ini pemerintah juga membidik
agar angka masyarakat yang menyandang gelar sarjana jumlahnya semakin
meningkat. Berbagai program mulai dirancang dari program biaya operasional
perguruan tinggi negeri (BOPTN), beasiswa bidikmisi, hingga uang kuliah tunggal
(UKT). Semua usaha tersebut tidak lain dan tidak bukan bertujuan untuk
meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM) Indonesia melalui pendidikan.
Dengan pendidikan yang baik dan dapat diakses oleh seluruh
masyarakat Indonesia, maka akan menjadikan kualitas manusia yang unggul
sehingga masyarakat dapat meningkat dari segi perekonomian serta kita tidak
dipandang sebelah mata oleh negara lain. Berdiri di atas kaki sendiri
(berdikari) itulah harapan para pendiri bangsa ini kepada para generasi
penerusnya. Jika kita tinjau dari sisi Al-qur’anul karim, kita akan menemukan
pada surat Al-mujadalah ayat 11 bahwa Allah akan meninggikan beberapa derajat
(tingkatan) orang-orang yang beriman diantara kamu dan orang-orang yang berilmu
(diberi ilmu pengetahuan).
Dari ayat tersebut jelas bahwa orang yang berilmu (orang yang
bersedia untuk menuntut ilmu) akan jauh jika dibandingkan dengan orang yang
bermalas-malasan tidak mau untuk mempelajari ilmu pengetahuan. Peningkatan
derajat tersebut dalam kehidupan dunia misalnya dalam hal rizqi yang
diterimanya dan pekerjaan yang ia kerjakan untuk mencukupi kehidupan
sehari-hari.
Akan tetapi saya menilai bahwa oleh sebagian masyarakat terkait
kewajiban dalam menuntut ilmu ini masih terdapat hal yang mengganjal: pertama, kata “ilmu” masih
diartikan sebatas ilmu pengetahuan duniawi atau yang dipelajari di sekolah umum
saja. Kedua, seiring dengan pengartian ilmu pada poin pertama maka seseorang
biasanya akan berhenti menuntut ilmu saat ia sudah tidak lagi berada di bangku
sekolah. Ketiga, semangat dalam menuntut ilmu yang terkadang hingga “setinggi langit”
bukan didasari pada niatan beribadah atau hanya sekedar mengejar ketenaran
dunia atau gelar belaka. Semua hal tersebut merupakan refleksi dari peristiwa
di sekitar kita yang terkadang kita menjumpai seseorang yang bergelar tetapi
perilakunya tidak sesuai dengan gelar yang telah dicapainya, atau seseorang
yang bergelar tetapi dengan segala kepandaiannya ia justru merendahkan orang
lain yang dianggapnya bodoh.
Hakikat dari ilmu adalah segala sesuatu yang mampu memberikan
nilai tambah dalam kehidupan kita. Nilai
inilah yang akan membedakan kita dengan manusia yang lainnya. Ilmu merupakan
sebuah pasangan dari pemanfaatan karunia Allah SWT terhadap manusia yaitu otak.
Seseorang yang menyadari bahwa otak fungsinya adalah untuk berpikir, maka ia
akan selalu berhati-hati dalam setiap langkahnya di dunia. Dari pendeskripsian
hakikat ilmu tersebut, jelas bahwa ilmu itu berada dekat di kehidupan manusia
dan sangat erat dengan aktivitas manusia. Tanpa kita sadari, ilmu pengetahuan
akan hadir dengan sendirinya saat kita melakukan perenungan terhadap diri kita.
Maka segala pemikiran yang dilakukan manusia akan berujung pada Allah Yang Maha
Kuasa. Dia-lah yang menciptakan kita dan Dia-lah yang mempunyai hak atas kita.
Beberapa orang yang masih menilai bahwa ilmu adalah apa yang
dipelajari di sekolah, sesungguhnya mereka itu adalah orang-orang yang belum
menggunakan kemampuan otaknya secara maksimal. Segala hal di luar pengajaran
sekolah, bagi mereka bukanlah sebuah ilmu. Ilmu bagi mereka adalah sarana untuk
menggenggam kesuksesan masa depan. Maka tidak heran jika mereka sudah tidak
lagi bersekolah, mereka tidak lagi mempelajari ilmu pengetahuan. Sesungguhnya
ilmu itu tidak hanya sebatas pengetahuan matematis, biologis, alam dan
sebagainya. Selain ilmu-ilmu tersebut juga terdapat ilmu agama. Ilmu yang
mengajari manusia untuk mengenal siapa Tuhannya. Ilmu yang menjadikan manusia
tidak sesumbar dengan apa yang dimilikinya, karena ia sadar sepenuhnya bahwa
hidupnya adalah atas izin dan kehendak Allah.
Ilmu inilah yang terkadang bagi beberapa masyarakat kita
sering dinomor duakan. Padahal untuk mempelajari ilmu agama ini tidak harus
bersusah payah mengikuti jenjang-jenjang pendidikan seperti di sekolah
konvensional. Datang pada sebuah pengajian atau majlis ta’lim, mengaji dengan
guru ngaji, mempelajari sifat-sifat dan asma-asma Allah. Semua itu termasuk dalam
upaya kita untuk mempelajari ilmu akhirat.
Disadari atau tidak, dalam hati manusia yang paling dalam
terdapat sebuah ruang kosong yang tidak mampu diisi oleh segala macam ilmu
pengetahuan. Ruang tersebut hanya mampu diisi oleh ilmu agama yang mampu melengkapi
hati kita menjadi hati manusia yang seutuhnya.
Salah seorang guru mengaji saya pernah mengatakan bahwa,
manusia hidup di dunia ini jika hanya mempelajari ilmu dunia tanpa diimbangi
dengan ilmu akhirat (agama) bagaikan kaki kiri yang melangkah tetapi tidak
diikuti oleh kaki kanan. Ilmu agama ini pasti akan berguna bagi diri kita
sendiri dan nantinya akan berguna bagi keluarga kita. Terutama bagi anak-anak
kita yang akan menanyakan segala macam pengetahuan agama kepada kita orang
tuanya. Lalu bagaimana jika anak-anak kita bertanya tentang ilmu agama dan kita
sebagai orang tua tidak mampu menjawabnya? Akankah kita hanya pandai berkata
saja, tanpa memberikan panduan yang nyata? Berwudlu, shalat, membaca Al-qur’an
dengan ilmu tajwid merupakan hal yang tidak mungkin tidak kita ajarkan kepada
anak-anak kita. Mari lengkapi langkah kita dengan ilmu dunia serta ilmu
akhirat.