Minggu, 30 Agustus 2015

MB3P - Mereka Butuh Bantuan Bukan Pertanyaan


            Membaca esai dari Mbak Jati yang dimuat pada edisi pekan lalu cukup menggelitik. Esai yang menceritakan tentang menyambut si Leb (baca: lebaran) pada bagian ending-nya seakan mencerminkan kekhawatiran beberapa orang kala acara kumpul-kumpul keluarga. Apalagi kalau bukan pertanyaan menohok nan mematikan: kapan nikah? Kekuatan tohok-an kalimat tersebut amatlah sakti, mendengar pertanyaan semacam itu rasa-rasanya seperti terdakwa yang sedang menjalani persidangan. Belum lagi kalau pertanyaan semacam itu bukan satu atau dua saudara yang bertanya, pastilah rasanya seperti ditanya alasan memilih judul penelitian saat sidang skripsi oleh tiga dosen sekaligus dan parahnya apapun jawaban kita selalu saja salah dihadapan mereka.
            Kalau boleh merunut jauh ke belakang, pertanyaan semacam ini mungkin juga pernah dialami oleh orang tua kita tapi barangkali dengan dosis yang masih wajar sesuai zaman kala itu. Namun entah mengapa pertanyaan semacam itu terasa menusuk hati dan merobek telinga pada lebaran kali ini. Bisa saja lebaran tahun lalu kita masih belum cukup umur, masih lari-larian dengan saudara yang lain dan masih layak menerima angpau lebaran sehingga oleh para tetua (baca: saudara yang sudah dan setengah tua) masih dinilai belum berkepentingan dengan urusan nikah-nikahan. Namun semua berubah ketika negara api menyerang, lebaran tahun ini ternyata umur sudah berlebihan sehingga cukup membuat mereka para tetua ikut risau.
Ada satu alasan yang patut diperhitungkan mengapa pada zaman ini pertanyaan keramat tersebut gregetnya terasa sampai kehati yang paling dalam. Media sosial. Yap ... saat ini kita hidup di zaman serba digital dan gadget. Siapa yang saat ini tidak memiliki media sosial? Melalui media sosial sebangsa Facebook, Path, Instagram dan sejenisnya orang dengan bebas memosting apa yang mereka kehendaki. Termasuk memosting meme seputar pertanyaan kapan nikah yang banyak bertebaran di jagad dumay.
            Alih-alih biasanya hanya ketemu pertanyaan semacam itu pas acara halal bihalal keluarga, eh gak taunya tiap buka beranda ada aja yang mosting begituan. Gencarnya perkembangan teknologi informasi itulah mengapa pertanyaan kapan nikah menjadi momok luar biasa yang menduduki peringkat kedua setelah PR matematika.
            Ada berbagai situasi dan kondisi mengapa seseorang merasa tidak nyaman ketika ditanya kapan nikah:
1.      Belum memiliki pasangan.
Saya lebih suka menyebut mereka sebagai orang yang single dari pada jomblo. Buat saya sebutan jomblo mengesankan stereotip seseorang yang tidak laku karena memiliki suatu kekurangan. Sebutan yang tidak manusiawi. Toh kita belum tentu lebih baik dari pada mereka yang single. Justru yang single lebih produktif berkarya di saat kita yang memiliki pacar sibuk berfoya-foya.
2.      Belum bekerja.
Bisa aja lho dia tertekan menanggapi pertanyaan nikah karena dia belum bekerja. Dia sudah memiliki pasangan, tetapi sayangnya dia masih belum mendapatkan pekerjaan. Menikah menandakan sebagai pribadi yang sudah dewasa dan mandiri. Ketika sudah menikah kita tidak bisa lagi dikit-dikit merengek kepada orang tua, termasuk dalam urusan ekonomi keluarga. Dia kelak ingin menikah dalam situasi yang lumayan sempurna, sehingga bisa berdikari. Kita harus bisa menghargai keinginan yang luhur itu.
3.      Belum memiliki modal yang cukup.
Pasangan ada, kerjaan juga ada, terus nunggu apa lagi? Mungkin saja mereka masih dalam tahap mengumpulkan modal nikah. Kalau jaman dulu nikahan sih bisa berjalan cukup dengan niatan suci kedua mempelai, tapi semenjak acara pernikahan Raffi Ahmad dan Nagita Slafina ditayangkan live di televisi, sekejap standart acara nikah bagi para calon mertua meningkat tajam.

            Tuh kan ... banyak yang jadi alasan. Intinya sih kalau seseorang ditanya kapan nikah dan dia tak kuasa menghadapi pertanyaan itu, berarti ada sesuatu yang tidak beres. Nah salah satu ketidak beresan itu mungkin ada diantara alasan di atas. Kalau boleh ngasih masukan kepada para tetua dan siapapun yang mau sok-sokan bertanya kapan nikah, tolong tanyalah dengan manusiawi dan jangan frontal membabi buta.
            Mengapa saya katakan sok-sokan bertanya? Lihatlah, setelah pertanyaan kapan nikah meluncur dan terdakwa tidak mampu menjawab dengan tepat, maka ekspresi si penanya selalu terheran-heran seakan tidak puas. Untuk Anda saudara yang lebih senior dan sudah menikah, justru seharusnya Anda itu yang lebih tahu bagaimana repotnya menyiapkan sebuah pernikahan. Bukan hanya repot persiapan catering, dekorasi dan lain sebagainya tapi juga repot menyiapkan hati.
            Katanya kita ini keluarga ... tapi kok malah tidak saling dukung? Kalau ada saudara yang belum menikah, coba diselami apa alasannya dan bantulah mencari jalan keluar rame-rame sekeluarga. Kalau memang belum memiliki pasangan, coba dibantu menemukan. Kalau belum bekerja, coba mungkin ada yang punya info kerjaan. Kalau ada yang belum cukup modalnya, mungkin ada yang punya saran-saran. Percayalah hal yang demikian itu jauh lebih bagus ketimbang sekedar bertanya yang diakhiri dengan nada sinis, malah nambah-nambahi beban pikiran. Itu sama saja kita menggerutu kenapa Indonesia penuh dengan korupsi, tapi kita sendiri tidak punya jalan keluar untuk membantu membersihkan bangsa dari korupsi.
            Persiapan pernikahan itu bukan hanya untuk satu hari itu saja, tetapi juga untuk hari-hari selanjutnya bahkan seumur hidup. Saya kok percaya, urusan kapan meminang dan kapan menimang ini telah digariskan oleh yang Maha Kuasa.
            Buat para tetua ... selain pertanyaan kapan nikah, ada lho pertanyaan lain yang juga semestinya dipertanyakan. Misalnya saja mengapa adek-adek yang masih bau ompol itu kalau halal bihalal lebih suka megang gadget ketimbang megang hati saudara. Dulu saya seumuran itu kalau ada kumpul-kumpul keluarga pasti lari-larian, kejar-kejaran, main petak umpet, pokoknya tiap mau pamitan pas acara sudah selesai baju koko ini basah penuh keringat. Ah mungkin COC dan pow lebih kekinian.

Masa Salah Orientasi


            Sepekan lalu kegiatan MOS (Masa Orientasi Siswa) yang kini sebutan itu sudah dirubah menjadi MOPD (Masa Orientasi Peserta Didik) telah sukses digelar diberbagai sekolah. MOS saat ini memang sudah tidak sesangar zaman dulu ketika banyak penugasan ekstrim yang memusingkan kepala dan menuntut ketahanan fisik yang super tinggi. MOS saat ini benar-benar diarahkan oleh para pejabat dunia pendidikan agar lebih humanis. Tentunya hal ini dikarenakan banyak ditemui korban berjatuhan dengan alasan mengikuti MOS yang terlewat ekstrim.
            Saya katakan MOS sekarang tidak sesangar dulu karena memang begitulah adanya terlihat untuk saat ini. Namun jika dikatakan MOS saat ini lebih humanis, saya kok masih tidak ikhlas bahkan cenderung masih berat hati untuk menyebut seperti itu. Kenapa? Ya ... coba saja tengok pelaksanaan MOS, pasti masih ada saja siswa baru yang mengenakan atribut tidak jelas juntrungannya. Rambut siswa perempuan masih ada yang harus diikat dengan pita warna-warni, topi dari kertas berbentuk kerucut atau segi lima seperti topi wisuda, papan nama dari kertas yang ukurannya sangat tidak proporsional misalnya 25x30 cm, lalu tas yang terbuat dari karung plastik (sak).
            Walaupun bentak-membentak dan perploncoan fisik kadarnya sudah berkurang, tetapi saya gagal paham dengan penugasan pengenaan atribut yang sedemikian rupa. Jika kemudian alasan yang digunakan sebagai jawaban adalah untuk melatih siswa baru berkreasi, taat pada peraturan dan tidak cengeng (artinya yakin dia mampu menemukan barang-barang yang ditugaskan walaupun barangnya susah didapat) saya rasa kok ya alasan tersebut terlalu dibuat-buat. Justru malah terlihat seakan-akan ada unsur ingin mengerjai para junior ini.
            Jika memang benar maksud yang ingin dituju seperti alasan di atas dan supaya terhindar jauh dari dugaan mengerjai, setidaknya buatlah penugasan yang wajar. Semua penugasan yang saya sebut di atas saya rasa korelasinya dengan berkreasi, menaati peraturan dan tidak cengeng sungguh amat kecil sekali dengan tujuan yang ingin dicapai. Perlu kita ketahui bahwa yang namanya perploncoan itu tidak hanya sebatas fisik saja, tetapi juga ada lho yang namanya perploncoan psikis.
            Sungguh Dek, Abang merasa sedih melihat kalian memasuki gerbang itu dipagi hari dengan sekujur tubuh penuh dengan benda-benda aneh. Kalian harusnya melewati gerbang itu dengan perasaan bangga dan senyum diwajah karena telah berhasil memperjuangkan keinginan kalian untuk memasuki sekolah itu. Bukannya malah menjadi bahan lelucon bagi siapa saja yang melihat.
            Saya di sini tidak perlu menjabarkan bagaimana ramuan kegiatan yang bernilai positif untuk mengisi MOS, karena Ibu/Bapak guru telah mampu meramu kegiatan itu dengan baik. Misalnya saja saat ini sudah diisi materi tentang bagaimana cara belajar yang efektif, materi pengembangan diri melalui ekskul yang dimiliki sekolah, hingga pada pengenalan seluk beluk yang berkaitan dengan sekolah tersebut.
            Ya, seperti itulah seharusnya masa orientasi. Karena makna orientasi jika dilihat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah peninjauan untuk menentukan sikap. Jadi boleh saya katakan MOS adalah saat dimana siswa baru dibimbing mengenal segala sesuatu tentang kegiatan belajar di sekolah atau jenjang tersebut agar mereka dapat memahami dan selanjutnya beradaptasi dengan baik.
            Hanya saja yang perlu saya pesankan untuk Ibu/Bapak guru, mohon sudilah kiranya memantau kakak-kakak seniornya yang menjadi panitia. Bukan bermaksud su’udzan, tetapi mungkin karena usia kakak panitia yang juga masih belia jadi terkadang mereka belum mampu memaknai MOS ini dengan utuh seperti apa yang dilakukan Ibu/Bapak guru. Saya tidak menyebut ini terselip niatan mengerjai, tetapi tidak menutup kemungkinan kakak panitia salah meng-convert nilai karakter positif seperti taat peraturan, disiplin dan lain-lain menjadi penugasan atribut aneh seperti yang saya sebutkan di awal.
            Mengutip dari ucapan Ir. Soekarno presiden pertama RI “Beri aku sepuluh pemuda, maka akan ku guncang dunia.” Dan sekarang dihadapan njenengan kakak panitia, sudah ada ratusan generasi muda. Ini kesempatan panjenengan untuk mengguncang dunia, dengan guncangan yang baik tentunya. Jangan dilupakan pula ada nilai pendidikan karakter cinta sesama teman, antara kakak kelas dan adik kelas. Percayalah yang demikian itu terlihat lebih harmonis ketimbang jengkel-jengkelan menyisakan dendam yang akan diluapkan besok ketika dapat giliran jadi panitia.
            Pendidikan itu idealnya dilakukan tanpa ada rasa tertekan, begitulah yang disebut dengan pendidikan yang humanis. Dan rasa-rasanya tidak pantas lah ... aset bangsa diperlakukan sekonyol itu.