Membaca
esai dari Mbak Jati yang dimuat pada edisi pekan lalu cukup menggelitik. Esai
yang menceritakan tentang menyambut si Leb (baca: lebaran) pada bagian ending-nya seakan mencerminkan
kekhawatiran beberapa orang kala acara kumpul-kumpul keluarga. Apalagi kalau
bukan pertanyaan menohok nan mematikan: kapan nikah? Kekuatan tohok-an kalimat
tersebut amatlah sakti, mendengar pertanyaan semacam itu rasa-rasanya seperti
terdakwa yang sedang menjalani persidangan. Belum lagi kalau pertanyaan semacam
itu bukan satu atau dua saudara yang bertanya, pastilah rasanya seperti ditanya
alasan memilih judul penelitian saat sidang skripsi oleh tiga dosen sekaligus
dan parahnya apapun jawaban kita selalu saja salah dihadapan mereka.
Kalau
boleh merunut jauh ke belakang, pertanyaan semacam ini mungkin juga pernah
dialami oleh orang tua kita tapi barangkali dengan dosis yang masih wajar
sesuai zaman kala itu. Namun entah mengapa pertanyaan semacam itu terasa
menusuk hati dan merobek telinga pada lebaran kali ini. Bisa saja lebaran tahun
lalu kita masih belum cukup umur, masih lari-larian dengan saudara yang lain
dan masih layak menerima angpau lebaran sehingga oleh para tetua (baca: saudara
yang sudah dan setengah tua) masih dinilai belum berkepentingan dengan urusan
nikah-nikahan. Namun semua berubah ketika negara api menyerang, lebaran tahun
ini ternyata umur sudah berlebihan sehingga cukup membuat mereka para tetua
ikut risau.
Ada satu alasan yang
patut diperhitungkan mengapa pada zaman ini pertanyaan keramat tersebut gregetnya
terasa sampai kehati yang paling dalam. Media sosial. Yap ... saat ini kita
hidup di zaman serba digital dan gadget. Siapa
yang saat ini tidak memiliki media sosial? Melalui media sosial sebangsa Facebook, Path, Instagram dan sejenisnya
orang dengan bebas memosting apa yang mereka kehendaki. Termasuk memosting meme
seputar pertanyaan kapan nikah yang banyak bertebaran di jagad dumay.
Alih-alih
biasanya hanya ketemu pertanyaan semacam itu pas acara halal bihalal keluarga,
eh gak taunya tiap buka beranda ada
aja yang mosting begituan. Gencarnya perkembangan teknologi informasi itulah
mengapa pertanyaan kapan nikah menjadi momok luar biasa yang menduduki peringkat
kedua setelah PR matematika.
Ada berbagai situasi dan kondisi
mengapa seseorang merasa tidak nyaman ketika ditanya kapan nikah:
1. Belum
memiliki pasangan.
Saya
lebih suka menyebut mereka sebagai orang yang single dari pada jomblo. Buat saya sebutan jomblo mengesankan stereotip seseorang yang tidak laku karena
memiliki suatu kekurangan. Sebutan yang tidak manusiawi. Toh kita belum tentu
lebih baik dari pada mereka yang single.
Justru yang single lebih produktif
berkarya di saat kita yang memiliki pacar sibuk berfoya-foya.
2. Belum
bekerja.
Bisa
aja lho dia tertekan menanggapi
pertanyaan nikah karena dia belum bekerja. Dia sudah memiliki pasangan, tetapi
sayangnya dia masih belum mendapatkan pekerjaan. Menikah menandakan sebagai
pribadi yang sudah dewasa dan mandiri. Ketika sudah menikah kita tidak bisa
lagi dikit-dikit merengek kepada orang tua, termasuk dalam urusan ekonomi
keluarga. Dia kelak ingin menikah dalam situasi yang lumayan sempurna, sehingga
bisa berdikari. Kita harus bisa menghargai keinginan yang luhur itu.
3. Belum
memiliki modal yang cukup.
Pasangan ada, kerjaan
juga ada, terus nunggu apa lagi? Mungkin saja mereka masih dalam tahap
mengumpulkan modal nikah. Kalau jaman dulu nikahan sih bisa berjalan cukup dengan niatan suci kedua mempelai, tapi semenjak
acara pernikahan Raffi Ahmad dan Nagita Slafina ditayangkan live di televisi, sekejap standart acara
nikah bagi para calon mertua meningkat tajam.
Tuh kan ... banyak yang jadi alasan.
Intinya sih kalau seseorang ditanya
kapan nikah dan dia tak kuasa menghadapi pertanyaan itu, berarti ada sesuatu
yang tidak beres. Nah salah satu ketidak beresan itu mungkin ada diantara
alasan di atas. Kalau boleh ngasih masukan
kepada para tetua dan siapapun yang mau sok-sokan bertanya kapan nikah, tolong
tanyalah dengan manusiawi dan jangan frontal membabi buta.
Mengapa
saya katakan sok-sokan bertanya? Lihatlah, setelah pertanyaan kapan nikah
meluncur dan terdakwa tidak mampu menjawab dengan tepat, maka ekspresi si
penanya selalu terheran-heran seakan tidak puas. Untuk Anda saudara yang lebih
senior dan sudah menikah, justru seharusnya Anda itu yang lebih tahu bagaimana
repotnya menyiapkan sebuah pernikahan. Bukan hanya repot persiapan catering, dekorasi dan lain sebagainya
tapi juga repot menyiapkan hati.
Katanya
kita ini keluarga ... tapi kok malah tidak saling dukung? Kalau ada saudara
yang belum menikah, coba diselami apa alasannya dan bantulah mencari jalan
keluar rame-rame sekeluarga. Kalau memang belum memiliki pasangan, coba dibantu
menemukan. Kalau belum bekerja, coba mungkin ada yang punya info kerjaan. Kalau
ada yang belum cukup modalnya, mungkin ada yang punya saran-saran. Percayalah
hal yang demikian itu jauh lebih bagus ketimbang sekedar bertanya yang diakhiri
dengan nada sinis, malah nambah-nambahi beban pikiran. Itu sama saja kita
menggerutu kenapa Indonesia penuh dengan korupsi, tapi kita sendiri tidak punya
jalan keluar untuk membantu membersihkan bangsa dari korupsi.
Persiapan
pernikahan itu bukan hanya untuk satu hari itu saja, tetapi juga untuk
hari-hari selanjutnya bahkan seumur hidup. Saya kok percaya, urusan kapan
meminang dan kapan menimang ini telah digariskan oleh yang Maha Kuasa.
Buat para tetua ... selain pertanyaan kapan nikah, ada
lho pertanyaan lain yang juga semestinya dipertanyakan. Misalnya saja mengapa
adek-adek yang masih bau ompol itu kalau halal bihalal lebih suka megang gadget ketimbang megang hati saudara.
Dulu saya seumuran itu kalau ada kumpul-kumpul keluarga pasti lari-larian,
kejar-kejaran, main petak umpet, pokoknya tiap mau pamitan pas acara sudah
selesai baju koko ini basah penuh keringat. Ah mungkin COC dan pow lebih kekinian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar