Sepekan lalu kegiatan MOS (Masa
Orientasi Siswa) yang kini sebutan itu sudah dirubah menjadi MOPD (Masa
Orientasi Peserta Didik) telah sukses digelar diberbagai sekolah. MOS saat ini
memang sudah tidak sesangar zaman dulu ketika banyak penugasan ekstrim yang
memusingkan kepala dan menuntut ketahanan fisik yang super tinggi. MOS saat ini
benar-benar diarahkan oleh para pejabat dunia pendidikan agar lebih humanis.
Tentunya hal ini dikarenakan banyak ditemui korban berjatuhan dengan alasan
mengikuti MOS yang terlewat ekstrim.
Saya katakan MOS sekarang tidak
sesangar dulu karena memang begitulah adanya terlihat untuk saat ini. Namun
jika dikatakan MOS saat ini lebih humanis, saya kok masih tidak ikhlas bahkan
cenderung masih berat hati untuk menyebut seperti itu. Kenapa? Ya ... coba saja
tengok pelaksanaan MOS, pasti masih ada saja siswa baru yang mengenakan atribut
tidak jelas juntrungannya. Rambut siswa perempuan masih ada yang harus diikat
dengan pita warna-warni, topi dari kertas berbentuk kerucut atau segi lima
seperti topi wisuda, papan nama dari kertas yang ukurannya sangat tidak
proporsional misalnya 25x30 cm, lalu tas yang terbuat dari karung plastik
(sak).
Walaupun bentak-membentak dan
perploncoan fisik kadarnya sudah berkurang, tetapi saya gagal paham dengan
penugasan pengenaan atribut yang sedemikian rupa. Jika kemudian alasan yang
digunakan sebagai jawaban adalah untuk melatih siswa baru berkreasi, taat pada
peraturan dan tidak cengeng (artinya yakin dia mampu menemukan barang-barang
yang ditugaskan walaupun barangnya susah didapat) saya rasa kok ya alasan
tersebut terlalu dibuat-buat. Justru malah terlihat seakan-akan ada unsur ingin
mengerjai para junior ini.
Jika memang benar maksud yang ingin
dituju seperti alasan di atas dan supaya terhindar jauh dari dugaan mengerjai,
setidaknya buatlah penugasan yang wajar. Semua penugasan yang saya sebut di
atas saya rasa korelasinya dengan berkreasi, menaati peraturan dan tidak
cengeng sungguh amat kecil sekali dengan tujuan yang ingin dicapai. Perlu kita
ketahui bahwa yang namanya perploncoan itu tidak hanya sebatas fisik saja,
tetapi juga ada lho yang namanya perploncoan psikis.
Sungguh Dek, Abang merasa sedih
melihat kalian memasuki gerbang itu dipagi hari dengan sekujur tubuh penuh
dengan benda-benda aneh. Kalian harusnya melewati gerbang itu dengan perasaan
bangga dan senyum diwajah karena telah berhasil memperjuangkan keinginan kalian
untuk memasuki sekolah itu. Bukannya malah menjadi bahan lelucon bagi siapa
saja yang melihat.
Saya di sini tidak perlu menjabarkan
bagaimana ramuan kegiatan yang bernilai positif untuk mengisi MOS, karena
Ibu/Bapak guru telah mampu meramu kegiatan itu dengan baik. Misalnya saja saat
ini sudah diisi materi tentang bagaimana cara belajar yang efektif, materi
pengembangan diri melalui ekskul yang dimiliki sekolah, hingga pada pengenalan seluk
beluk yang berkaitan dengan sekolah tersebut.
Ya, seperti itulah seharusnya masa
orientasi. Karena makna orientasi jika dilihat dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia (KBBI) adalah peninjauan untuk menentukan sikap. Jadi boleh saya
katakan MOS adalah saat dimana siswa baru dibimbing mengenal segala sesuatu
tentang kegiatan belajar di sekolah atau jenjang tersebut agar mereka dapat
memahami dan selanjutnya beradaptasi dengan baik.
Hanya saja yang perlu saya pesankan
untuk Ibu/Bapak guru, mohon sudilah kiranya memantau kakak-kakak seniornya yang
menjadi panitia. Bukan bermaksud su’udzan,
tetapi mungkin karena usia kakak panitia yang juga masih belia jadi
terkadang mereka belum mampu memaknai MOS ini dengan utuh seperti apa yang
dilakukan Ibu/Bapak guru. Saya tidak menyebut ini terselip niatan mengerjai,
tetapi tidak menutup kemungkinan kakak panitia salah meng-convert nilai karakter positif seperti taat peraturan, disiplin dan
lain-lain menjadi penugasan atribut aneh seperti yang saya sebutkan di awal.
Mengutip dari ucapan Ir. Soekarno
presiden pertama RI “Beri aku sepuluh pemuda, maka akan ku guncang dunia.” Dan
sekarang dihadapan njenengan kakak
panitia, sudah ada ratusan generasi muda. Ini kesempatan panjenengan untuk mengguncang dunia, dengan guncangan yang baik
tentunya. Jangan dilupakan pula ada nilai pendidikan karakter cinta sesama
teman, antara kakak kelas dan adik kelas. Percayalah yang demikian itu terlihat
lebih harmonis ketimbang jengkel-jengkelan menyisakan dendam yang akan
diluapkan besok ketika dapat giliran jadi panitia.
Pendidikan itu idealnya dilakukan tanpa ada rasa
tertekan, begitulah yang disebut dengan pendidikan yang humanis. Dan
rasa-rasanya tidak pantas lah ... aset bangsa diperlakukan sekonyol itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar