Pertanyaan yang selalu ditanyakan facebook untuk kita, menarik untuk dicermati. “Apa yang Anda
pikirkan?” Dari kalimat tanya sederhana ini, jutaan masyarakat bersedia
menceritakan keluh kesah, kebahagiaan dan emosi pada seluruh lingkaran
pertemanan dunia maya. Dengan dalih ekspresi diri, kita memerlukan wadah. Facebook memahami kebutuhan itu, lalu
jadilah facebook sebagai sarana
paling laris untuk curhat, yang selanjutnya diikuti oleh media sosial daring
lainnya.
Membaca
buku Melawan Kuasa Perut karya Rahmat Petuguran, kita akan disodorkan 30 esai
yang seluruhnya adalah tumpahan pemikirannya. Latar belakang lahirnya esai-esai
ini berasal dari hal-hal kecil yang mengganggu pikiran Rahmat. Saya akui, apa
yang dilakukan penulis buku ini membawa kita pada satu hal penting. Kita
dipaksa menyepakati bahwa akan ada sesuatu yang lebih kompleks dibalik semua
hal, meski hal-hal kecil sekali pun.
Salah
satu kerisauannya tampak pada sajian berita kriminalitas di televisi. Mulanya
pemirsa akan berekspresi ngeri, kemudian nada kecaman muncul sebagai bentuk empati
sesama manusia. Namun apabila berita semacam itu selalu tersaji, dalam jangka
paparan yang panjang, akan cukup menghilangkan empati manusia (hlm. 15).
Alhasil, ngeri hanya akan menjadi ekspresi sesaat. Hilangnya sensitifitas
perasaan manusia, menjadikan otot lazim digunakan sebagai pengurai masalah
ketimbang otak.
Jika
ditarik garis lurus, pola yang sama dapat digunakan untuk menjelaskan bagaimana
anak muda mengimajikan kesuksesan di benak mereka. Sukses bagi mereka penikmat
aktif sajian televisi, bersumber pada harta dan kepopuleran. Hal inilah yang
kemudian dianggap Rahmat mampu melanggengkan industri idola: berjilid-jilid
acara ajang pencarian bakat dengan ribuan antrean peserta (hlm. 45).
Diantara
sekian keputusan yang kita ambil, secara tidak sadar banyak dipengaruhi oleh
doktrin halus yang diselipkan melalui iklan televisi. Dalih praktis dibenarkan
oleh masyarakat untuk mengganti jajanan tradisional dengan aneka roti kaleng
saat selebrasi lebaran (hlm. 78). Namun sekarang televisi bukan lagi pemain
tunggal. Internet dengan berbagai media sosialnya mulai mengambil peran.
Pemetaan selera berbusana, makanan, bahkan orientasi politik tersaji begitu lapang.
Tinggal menunggu analis yang berkepentingan untuk memanfaatkannya.
Urusan perut benar-benar menyita ambisi kita, sekaligus
lahan bagi kaum industri. Jika kita tidak kritis, hanya mengikuti arus,
bisa-bisa bangsa kita kembali menjadi bangsa yang terjajah. Melalui buku ini,
Rahmat ingin mencoba membangun sikap kritis kita demi sebuah bangsa yang
merdeka, lebih khusus lagi rakyat yang merdeka.